Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Klazo

Jakarta menjerit! Begitulah gambaran warga Jakarta saban harinya. Sudah lama saya ingin menuliskan ini . Sejak kali pertama menginjakkan kaki di Ibukota. Saya merasa aneh dengan polah warga Jakarta. Apakah memang semua jagoan, merasa yang punya jalan,   atau mungkin mengalami gangguan kejiwaan sehingga mereka harus menjerit di sepanjang jalan? Mungkin juga jeritan tersebut merupakan gambaran batin yang meronta-ronta, memohon ampun dari siksa macet yang telah menguras uang mereka ? Klazo adalah istilah Yunani yang berarti menjerit. Pangkal kata dari klakson. Sebuah alat yang mulai digunakan sejak 1908 yang ditemukan kerabat Thomas Edison, Miller Reese Hutchison . Dengan daya elektromagnet dan kawat spiral, klakson bekerja sedemikian rupa hingga menimbulkan laungan sekian skala kekuatan suara. Waktu masih kecil, saat Bapak mengajariku mengendarai motor, ia selalu memintaku membunyikan klakson, menyalakan lampu sent serta melihat kaca spion sebelum mendahului kendaran....

Kumbokarno Gugur: nguri-uri Kebudayaan dan Gus Dur

Pagelaran wayang 1000 Hari Gus Dur   Ba’da isya’ (26/09) ratusan orang sudah berkumpul di kediaman Gus Dur, Ciganjur. Semua orang lintas etnis dan agama, berkumpul dalam satu wadah demi memperingati 1000 hari Gus Dur. Kata “memperingati” memiliki kata dasar ingat dengan awalan me - dan akhiran – i , dimana dalam hal ini menjadi sebuah upaya untuk mengenang atau membuka lembaran-lembaran lama tentang Gus Dur. Bagi saya—tentu ini sangat sujektif—Gus Dur ibarat batu kristal yang memiliki banyak sisi. Pada setiap sisi yang kita dekati, selalu saja ada keindahan tersendiri. Ya. Itulah Gus Dur dengan segala keluar-biasaan dalam keterbiasaannya. Malam itu kita diajak mengenal Gus Dur melalui pendekatan Budaya. Pagelaran wayang semalam suntuk sengaja diadakan keluarga ndalem. Alissa Wahid, Putri sulung Gus Dur, menceritakan bagaimana kecintaan Gus Dur terhadap budaya, wayang khususnya. Dulu saat mbak Alissa masih duduk di bangku perkuliahan di Yogyakarta, setiap Gus Dur d...

Ziarah Budaya: 1000 Hari Gus Dur

Akeh kang apal….Qur’an Hadits e… [Banyak yang hafal Qur’an Haditsnya] Seneng Ngafirke marang liyane… [Senang mengkafirkan yang lainnya] Kafir e dewe Ga’ di gatekke… [Kafirnya sendiri tak pernah dipedulikan] Yen isih kotor…ati akale…2X [Jikalau masih kotor hati-akalnya] Saat masih di Solo, tepatnya bulan Ramadhan. Hampir setiap towa Langgar (mushala) dan masjid-masjid kampungku tak bosan mengumandangkan Syi’ir Tanpo Wathon (Syair Tanpa Aturan). Konon syair tersebut adalah satu di antara peninggalan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) bagi kita semua. Saya yakin, teman-teman Kompasiana, terutama pegiat kajian toleransi keagamaan, begitu akrab dengan pemikiran beliau yang tidak sedikit orang bilang “ nyleneh ”. Tapi apa yang beliau urai dalam syair tersebut sungguh “menelanjangi” kita, khususnya umat Islam. Melalui larik lirik sederhana, Gus Dur mengajak kita menjadi muslim sejati. Gus Dur tak hanya minta kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadits. Tak pula mem...

Menyuji Mimpi

Saat pertama dua pasang mata kita beradu, aku tahu, ada yang ingin kupersembahkan padamu. Cinta dan ketertarikan ini adalah hutang rasa yang harus kembali, meski engkau tidak pernah menagihnya. Engkau pun punya hutang padaku, karena engkau pula yang menyebabkan rasa ini tercipta. Semesta akan mencatat perhitungan ini dengan cermatnya. Ia berjalan sendiri, menggerai rambut hitam panjangnya yang basah seusai mandi. Di kali. Titik-titik air berjatuhan di pipinya, di gaunnya, di tanah. Angin menyibak kembali rambut yang menutup sayu wajahnya. Mungkin ingin menyapa atau sekadar membelainya. Tersenyum ia dalam titik-titik air. Sayang, aku hanya kuasa memandangnya dari sela-sela daun jambu. Ia pun menghilang di balik dedaunan ketika aku terlena dalam lamunanku, sementara aku tetap di sini. Di sela daun jambu, merindui. Aku cemburu entah pada siapa. Perasaan ini, cemburu ini, semakin mempercantik parasnya dari hari ke hari. Aku tak tahu, apa esok atau lusa, atau ...

Kursi Gila!

Sahdan. Jauh di tengah hutan Kalimantan, para binatang sedang bergosip ria tentang manusia. Berbeda dengan ibu-ibu rumah tangga yang sibuk ngobrolin infotaiment, bangsa binatang berdiskusi mengenai wacana politik. Biasa di luar memang. Eitz, luar biasa maksudnya. Kalau Afrika punya Amazon, Indonesia punya hutan yang tak kalah luasnya di Kalimantan. Kira-kira demikian hutan Kalimantan punya cerita: Kancil sebagai figur yang terkenal karena dengan kecerdikannya memulai pembicaraan panas tersebut. “Saudara-saudara sebangsa binatang. Pernahkah kalian mendengar virus kursi gila yang menimpa bangsa manusia? Tidakkah saudara-saudara sadari bahwa belakangan, dalam dunia manusia, telah menyebar virus super ganas.” Kata si Kancil sambil menghentakkan kakinya sembari membuka matanya lebar-lebar, menatap setiap wajah di sekelilingnya. “Sudah kuduga, tak ada yang tahu di antara kalian semua. Baiklah. Virus ini bisa mematikan daya kepekaan sesama manusia. Lebih gilanya, viru...