Akeh kang apal….Qur’an Hadits e…[Banyak yang hafal Qur’an Haditsnya]
Seneng Ngafirke marang liyane… [Senang mengkafirkan yang lainnya]
Kafir e dewe Ga’ di gatekke… [Kafirnya sendiri tak pernah dipedulikan]
Yen isih kotor…ati akale…2X [Jikalau masih kotor hati-akalnya]
Saat masih di Solo, tepatnya bulan Ramadhan. Hampir setiap towa Langgar (mushala) dan masjid-masjid kampungku tak bosan mengumandangkan Syi’ir Tanpo Wathon
(Syair Tanpa Aturan). Konon syair tersebut adalah satu di antara
peninggalan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) bagi kita semua. Saya yakin,
teman-teman Kompasiana, terutama pegiat kajian toleransi keagamaan,
begitu akrab dengan pemikiran beliau yang tidak sedikit orang bilang “nyleneh”.
Tapi apa yang beliau urai dalam syair tersebut sungguh “menelanjangi”
kita, khususnya umat Islam. Melalui larik lirik sederhana, Gus Dur
mengajak kita menjadi muslim sejati.
Gus
Dur tak hanya minta kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadits. Tak pula
meminta kita hanya mengkaji Syariat. Lebih jauh, Gus Dur meminta kita
mengkaji secara proporsional antara tarikat, hakikat, serta makrifat.
Tentu saja, diikuti dengan internalisasi hingga bagian terdalam dari
tubuh kita. Tak berhenti di situ, semua butuh bukti berupa laku.
Tak terasa sudah hampir seribu hari Gus
Dur meninggalkan kita. Meski begitu, harum nama sang Guru Bangsa begitu
dekat dengan kita. Betapa tidak, saat ini begitu banyak kasus keagamaan
yang terjadi di sekeliling kita. Kasus Sampang misalnya, mungkin jika
marhum masih ada, peristiwa yang melibatkan organisasi yang pernah
beliau pimpin tak mungkin terjadi. Jika tak percaya, sejarah mencatat
bagaimana suara beliau didengar oleh pengikutnya.
***
Belum
lama kembali ke Ibukota, teman-teman di Ciganjur serta para Gusdurian
(pecinta Gus Dur) mengajak kita mengenang Gus Dur melalui pendekatan
kultural. Dalam rangka memperingati 1000 hari Gus Dur, tepat pada
tanggal 27 September, Keluarga Ciganjur mengadakan serangkaian acara sebagai berikut:
1. Pentas Wayangan pada 26 Septemberdi kediaman Ciganjur (18.00 - selesai).
2. Tahlil Akbar pada 27 September di kediaman Ciganjur dan Tebu Ireng (18.00 - selesai)
3. Ziarah Budaya pada Tanggal 28 September di Taman Ismail Marzuki (18.00 - selesai)
Semoga
segala peringatan yang diadakan guna memperingati kepergian Gus Dur tak
hanya sekadar mengingat beliau, melainkan juga kita mampu menghadirkan
kembali dan secara lantang kita mampu berkata “TIDAK!” pada segala
bentuk penindasan. Maaf, kalau bisa jangan hanya berkata “TIDAK!”,
melainkan disertai bukti nyata dalam tindakan kita.
Komentar
Posting Komentar