Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof[i]
Oleh: Ngabdulloh Akrom
Abstraksi
Keterpilahan antara kesadaran [mind] dan materi [matter]—dualisme cartesian—dianggap ikut bertanggung jawab terhadap munculnya pelbagai krisis global, seperti krisis ekologi, kekerasan, konflik yang makin mengental, reifikasi, alienasi, dan dehumanisasi. Fenomena ini juga tidak dapat lagi dugunakan untuk memahami fenomena-fenomena fisis, biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang saling terkait satu sama lain.[ii]
Sekilas melihat, begitu mengerikan dampak dari dualisme-cartesian. Karena pernyataan di ataslah penulis ingin mengkaji lebih terperinci mengenai dualisme-cartesian. Dalam makalah ini, penulis mencoba melihat secara kritis apa itu dualisme-cartesian, dan membandingkan pemikiran antara Descartes, Hobbes, Locke dan Leibniz mengenai dualisme-cartesian. Untuk sistematika penulisannya, penulis melihat bagaimana pemikiran Descartes mengenai hubungan antara jiwa dengan tubuh, kemudian respon Hobbes, Locke dan Leibniz mengenai dualisme-cartesian. Dan apa yang ditawarkan para pengkritik tersebut?
Kata kunci: dualisme-cartesian, subjek-objek, jiwa-tubuh, Rene Descartes, Thomas Hobbes, John Locke, Leibnize
Pendahuluan
Pendahuluan
Lahirnya sebuah pemikiran filosofis dalam sejarah filsafat, tentunya tidaklah begitu saja adanya. Ia merupakan serangkaian rentetan pemikiran yang saling berkait antara filosof satu dengan yang lainnya. Begitu halnya dengan filsafat cartesian, ia lahir sebagai respon atas skeptisme yang digagas oleh Montaigne. Pada mulanya Montaigne maragukan kemampuan indera dalam sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, ia menunjukkan betapa indera menyesatkan. Ia menyontohkan bagaimana indera membohongi kita. Ketika kita berada di atas sebuah gedung bertingkat kemudian kita melihat benda-benda[iii] dari kejahuan maka nampak kecil, padahal sejatinya benda-benda yang dilihatnya besar. Dan ketika mata yang memiliki penyakit kuning akan melihat segala yang ada disekitarnya nampak kuning[iv]. Melihat menjamurnya skeptisme pada kala itu, dengan metode meragunya, Desacartes mencoba mencari sebuah epistemologi baru untuk meruntuhkan bangunan skeptisme. Berbeda dengan para kaum skeptis, Descartes menggunakan metode meragu untuk memperoleh sebuah kepastian. Metode meragu descartes menghasilkan res-cogitan (thinking being) dan res-extansa (objek dalam bentuk materi), yang nantinya melahirkan dualisme-cartesian. Namun usaha yang dilakukan Descartes dalam merobohkan skeptisme masihlah meninggalkan celah kritik bagi filosof selepasnya. Para filosof penerusnya melakukan tambal sulam atas filsafat Cartesianisme. Di antara para pengkritik dualisme-cartesian ialah Hobbes, Locke dan Leibniz, dll..
Dalam makalah ini, penulis mencoba memaparkan dualisme-cartesian dari berbagai cara pandang filosof (Hobbes, Locke, Leibniz). Langkah pertama, penulis memaparkan apa itu dualisme-cartesian. Kemudian, bagaimana para filosof yang tadi penulis sebut melihat dualisme-cartesian, meliputi argumentasi-argumentasi kenapaa mereka melakukan penolakan ataupun penerimaan kepada dualisme-cartesian.
Rene Descartes
Pada abad modern, wilayah filsafat yang paling signifikan untuk dikaji ialah filsafat rasonalisme. Akal dari zaman Aristoteles hingga Descartes adalah sebuah fakultas pembeda antara manusia dengan binatang. Descartes melakukan sebuah pemikiran yang revolusioner, yakni dengan ungkapan “cogito ergo sum”, aku berpikir karenanya aku ada. Karena ide cogito inilah Descartes dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern”. Ide cogito ergo sum, digagasnya untuk meruntuhkan tradisi filsafat Aristotelian, Skolastik, dan skeptisme yang menjadi tradisi pada abad pertengahan.
Dalam cogito ergo sum, Descartes menawarkan sebuah metode baru untuk mendapatkan kepastian. Pada mulanya tidak jauh berbeda dengan para pengikut skeptis, Desacartes meragukan indera yang dianggapnya kadang kala menipu, kemudian dia meragukan geometri dan juga segala penalaran yang telah dibentuknya sebelumnya, kecuali diri yang melakukan berpikir dan Tuhan[v]. Dengan meragukan semuanya, maka sampailah ia pada thesis cogito ergo sum. Ia beranggapan bahwasanya bangunan filsafatnya ini sangatlah kokoh, bahkan kaum skeptis pun, menurutnya, tidak akan mampu merobohkan bangunan filsafatnya.[vi] Dari sini pula lah, Descartes melakukan pembuktian keberadaan Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang memberi daya bagi jiwa.
Dalam bukunya Meditation ia menyontohkan betapa indera telah membohongi kita, dan bagaimana ia meragukan segala termasuk tubuh dan inderanya:
“I will suppose not that there is a supremely good God, the source of truth; but that there is an evil spirit, who is supremely powerful and intelligent, and does his utmost to deceive me. I will suppose that sky, air, earth, colors, shapes, sounds, and all external objects are mere delusive dreams, by means of which he lays snares for my credulity. I will consider myself as having no hands, no eyes, no flesh, no blood, no senses, but just having a false belief that I have all these things. (AT VII.23; CSMK II.15)[vii] ”
Saya kira tidak ada Tuhan begitu baik, sumber kebenaran, tetapi yang ada roh jahat, yang amat kuat dan cerdas, dan dia sepenuhnya menipu saya. saya akan menduga bahwa langit, udara, bumi, warna, bentuk, suara, dan semua objek eksternal hanyalah mimpi belaka, dengan caranya memasang perangkap agar saya mudah percaya. Saya akan mempertimbangkan diri sebagai tangan yang tidak, tidak ada mata, tidak ada daging, tidak darah, tidak ada diri, tetapi hanya memiliki kepercayaan palsu bahwa saya memiliki segala hal ini. (AT VII.23; CSMK II.15)
Dari keraguan-keraguan di atas, maka lahirlah Cogito yang menjadi argumentasi akan eksistensinya. Descartes berkayakinan, walaupun ruh jahat mencoba menipunya sebanyak mungkin, dia akan tetap yakin pada eksistensinya. Setelah dia mengetahui bahwa dia ada. Ia mengeluarkan pendapat yang sangat ekstrim mengenai manusia, pandangannya mengenai manusia inilah yang nantinya dikenal dengan dualisme-cartesian. Ia melakukan pemisahan antara tubuh dengan jiwa. Nampaknya cukup rumit untuk memahami pemisahan antara jiwa dan tubuh oleh Descartes. Ketika ia menyadari akan keberadaannya, ia meyakini adanya sebuah keberadaan yang melakukan proses berpikir—jiwa. Dan sesuatu yang berpikir itu menurutnya berbeda dari tubuh dan ia dapat eksis tanpa tubuh.[viii] Saya merasa bingung dengan apa yang dimaksudkan oleh Descartes, apakah yang berpikir itu sesuatu yang immateri, ataukah Tuhan. Kalau yang ‘berpikir’ adalah sesuatu yang immateri, bagaimana keberadaannya bisa mengada tanpa yang materi (tubuh)? Kalau kita coba menggunakan prinsip identitas Aristotelian, sebut saja A adalah sesuatu yang berpikir dan B adalah tubuh. Lantas, apakah yang dimaksudkan oleh Descartes ialah bahwasannya A ≠ B? kalau keberadaan yang berpikir mempu eksis tanpa tubuh, apakah dia menggantung? Dan bagaimana koneksinya dengan tubuh?
Selanjutnya, Descartes menjelaskan bahwasannya manusia terdiri dari dua dimensi yang berbeda yakni jiwa dan tubuh, dan sifatnya sebagai komposisi dan membentuk sebagai sebuah kesatuan yang sangat erat (intimate union)[ix]. Bagaimana yang immateri dengan yang materi dapat bersatu—dengan kata lain bagaimana dua subtansi dapat menyatu dalam satu entitas? Dari berbagai buku yang pernah penulis baca, tidak penulis temukan argumentasi Descartes bagaimana dua subtansi ini dapat menyatu selain itu karena kekuasaan Tuhan yang maha sempurna. Mengenai letak jiwa, ia berargumentasi dengan kinerja sebuah indera (ia mencontohkan dengan mata) yang melihat objek, dari indera kemudian cairan-cairan kelenjar dari mata membawa informasi ke otak. Dari sini ia berkesimpulan bahwasannya jiwa terletak di sela-sela kelenjar otak. Ia berfungsi untuk memfungsikan organ tubuh—disinilah pandangan mekanisme Desacartes di dalam dualismenya. Kalau kita perhatikan, cara Descartes berargumentasi lebih mirip dengan kinerja otak sebagai motorik bagi tubuh. Yang menarik bagi saya, Desacartes memosisikan bahwa bayang yang ada di otak adalah bayangan yang ada di jiwa.[x] Lantas, apa yang membedakan antara tubuh dengan jiwa? Dia berargumentasi bahwasannya kita memiliki sepasang mata lain yang berada di dalam otak yang terletak beberapa sentimeter di belakang mata. Perhatikan gambar dibawah ini[xi]:
Pada tahun 1649, Ratu Christina dari Swedia meyakinkan Descartes untuk datang ke Stockholm untuk mengajari filsafat. Dan pada tahun 1950, Descartes meninggal dunia karena terserang penyakit pneumonia.
Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah seorang filosof asal Inggris yang hidup ketika Inggris sedang mengalami disintegrasi politik. Ia terkenal dengan filsafat politiknya, secara khusus ia menuliskan pemikiran politiknya dalam satu buku tersendiri; “Leviathan”.[xiii] Zaman dimana Hobbes hidup sangatlah dipengaruhi oleh iklim peperangan. Ketika terjadi perang saudara di Inggris dan parlemen mengganti negara monarki menjadi sebuah negara republik. Demi keselamatannya pada tahun 1640-1651 Hobbes pindah ke Perancis.
Pada tahun 1640, saat ia di Perancis, Hobbes menulis sebuah karya dalam bahasa Inggris; Element of Law, Natural and Political, yang berisikan prinsip filsafatnya mengenai manusia sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Dan dalam pelariannya ke Prancis itu, ia sempat menjadi guru pribadi calon Raja Charles II. Namanya tersohor di Perancis karena karyanya; De Cive. Ia juga sempat memberi komentar karya Descartes, Meditation. Hal ini dianggap bahwa Hobbes dianggap memiliki posisi yang berlawanan dengan pandangan cartesian.[xiv]
Yang menghubungkan antara Hobbes dengan Descartes ialah; keduanya mencoba menolak pemikiran filsafat Aristotelian.[xv] Jenis perolehan pemikiran filosofis mereka pun didapatkan melalui pemikiran reflektif. Dan keduanya menuliskan karya filsafatnya menggunakan bahasa populer, sehingga para pengkaji filsafat kedua filosof tersebut, mampu mengakses bahasan filsafat keduanya dengan lebih mudah, tanpa harus melakukan pendalaman intensif mengenai filsafat.
Disamping itu, Hobbes mengembangkan suatu model dunia yang murni materialis dan mekanistis—dunia yang semata-mata merupakan “materi yang sedang bergerak.”[xvi] Yang menarik dari materialisme Hobbes, bahwa gerak hanya dapat kita temukan dalam bentuk materi. Dan pengertian materi menurut Hobbes ialah segala sesuatu yang dapat diukur, dan yang dapat diukur adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat. Lebih ekstrimnya, menurut Hobbes, jika pun Tuhan ada maka Ia dalam bentuk materi.
Dari serangkaian pandangan Hobbes mengenai materi, yang penulis dapati mengenai materialisme hobbes; bahwa materi ialah segala sesuatu yang dapat kita inderai dan melakukan gerak. Bagaimana dengan jiwa yang ada dalam pembahasan dualisme-cartesian? Menurut Hobbes, jiwa adalah materi karena ia berada di dalam badan.
Selain persamaan di antara kedua tokoh yang penulis sampaikan di atas, terdapat pula titik seteru yang sangat menonjol di antara keduanya. Descartes berpendapat bahwa manusia terdiri atas jiwa dan tubuh yang saling terpisah, sedangkan Hobbes berpendapat bahwa tidak ada dualitas antara jiwa dengan tubuh, menurutnya, jiwa dan tubuh adalah sebuah satu-kesatuan.
Tidak jauh berbeda dengan Descartes, dalam mengafirmasi filsafat Aristotelian tentang pembedaan antara manusia dengan hewan. Hobbes dan Descartes mempercayai adanya sebuah kinerja mekanistik pada manusia. Dalam hal ini keduanya sepakat bahwa; manusia tidak ubahnya sebuah robot. Namun menurut Descartes jiwa sebagai penggerak bagi gerakan tubuh—dengan kata lain jiwa sebagai motorik. Sedangkan Hobbes yang memiliki padangan materialistik, ia berargumentasi dengan berangkat dari gerak. Di atas tadi sudah penulis sebutkan bahwa dalam pandangan Hobbes, segala yang melakukan gerak adalah materi, dan yang dapat disebut materi baginya ialah segala hal yang dapat diukur, dan jiwa berintegrasi dengan tubuh manusia dan menjadi materi (sehingga, jiwa=tubuh), menurut Hobbes bukanlah seperti yang dikatakan Descartes, tubuh lah yang melakukan gerak bukan jiwa. Robot itu (manusia) akan mati jika jiwa telah meninggalkannya. Sedangkan menurut Hobbes, manusia dikatakan telah mati jika ia sudah tidak melakukan gerak.
John Locke
Hobbes adalah seorang pelopor empirisme modern, kemasyhuran yang didapatkan Hobbes itu karena John Locke. Locke adalah filosof yang melanjutkan empirisme Hobbes, ia hidup ketika keadaan politik di Inggris mulai membaik. Pada tahun 1676-1678, karena tulisannya yang kontroversial mengenai doktrin gereja, ia diasingkan ke Perancir. Di Perancis, ia banyak bertemu dengan para pengikut paradigma cartesian, hal ini membuatnya menjadi serius untuk mengkaji filsafat. Walaupun Locke seorang empirisme, dia berbeda dengan Hobbes dalam melihat dualisme-cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh; dan oleh karena itu dia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.[xvii]
Karena terjadi perang saudara, sebagai orang dalam dari keluaga Shaftsbury, ia ikut serta perpindahan mereka ke Belanda karena perebutan kekuasaan di Inggris. Di Belanda dia menghasilkan karya filosofisnya yang termasyhur mengenai bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan; An Essay Concerning Human Understanding.[xviii] Di dalam karya yang terdiri dari empat buku ini, Locke berbicara tentang bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Ia setuju dengan pandangan dualisme-cartesian, bahwasannya manusia terdiri dari jiwa dan tubuh (mind and body). Namun, di dalam ide yang sama dengan Descartes itu, dia juga agak memiliki pandangan yang lain. Dia menolak ide Descartes bahwa manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pikirannya (innate ideas) bersifat a priori. Menurutnya, pikiran (jiwa) manusia ketika baru lahir tak ubahnya seperti lembaran kertas (tabula rasa), lalu pengalaman akan menulis di dalamnya, dan apa yang ditulis oleh pengalaman inilah yang bisa diketahui oleh akal—dengan kata lain manusia memperoleh pengetahuan paling awal berdasarkan pengalaman empiris. Pendapat ini juga meruntuhkan paradigma cartesian-circle—Tuhan menjamin kejernihan ide rasional manusia, dan keberadaan Tuhan dijamin oleh kejernihan rasional manusia.
Locke juga mengambil ide subjektivisme Descartes, pandangan bahwa apa yang paling aku ketahui adalah akalku sendiri dan ide yang ada di dalamnya. Jurang pemisah antara akal pikiran bersama ide yang ada di dalamnya dengan objek jasmaniah dan manusia dimana ide pikiranku merujuk diluar diriku.[xix] Locke setuju adanya dualisme-cartesian, namun dia melakukan modifikasi bahwasannya manusia memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman yang didapat.
Lebih lanjutnya, untuk mengukuhkan pandangannya menganai tabula rasa, Locke membagi berbagai ide yang ada. Simple ideas and complex ideas. Seperti gagasan awal bahwa akal hanyalah lembaran kertas kosong yang siap untuk ukir oleh pengalaman. Pada mulanya manusia mengamati warna, bunyi, tekstur, dan rasa, mencium bau (proses pengindraan) maka kita akan mendapatkan simple ideas (ide-ide sederhana) di dalam pikir. Maka dalam pikiran kita akan terbentuk ide-ide yang bersifat responsif atas dunia luar. Dari simple ideas yang didapatkan dari pengalaman. Maka akan terbentuk penggabungan ide-ide yang didapat oleh pengalaman, di dalam pikiran kita. Maka terbentuklah complex ideas.
Menurut Locke, yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya adalah jiwanya. Karena dasar dari identitas manusia ialah jiwanya. Untuk mencari identitas manusia, dia melakukan pembedaan antara man (sering terjemahkan dengan manusia) dengan person (orang). Jiwa selalu berubah bersamaan dengan ruang dan waktu. Ketika saya sedang menulis, maka saya bukanlah orang yang tadi tidak menulis. Tetapi saya adalah manusia yang sama, yang melakukan tindakan yang saya lupa. (Kenny. 226)
Sebagai seorang empirisme, Locke telah merusak empirismenya setidaknya dalam cara yang kritis. Pertama, dia menyerah kepada para metafisikawan yang diserangnya, dalam menerima ide bahwa kita merasa perlu untuk membicarakan benda-benda dalam dirinya sendiri, terpisah dari pengalaman kita atasnya.[xx] Kalau kita mengikuti kinerja dari epistemologi yang digunakan oleh Locke, seharusnya Locke menolak segala hal yang tidak dapat dibuktikan oleh indera. Dalam hal ini, dia menerima pengertian kuno Aristotelian mengenai subtansi.
Perusakan yang dilakukan Locke berikutnya ialah ketika ia membedakan dua jenis sifat atau kualitas: sifat yang kita cerap sebagai hal yang melekat dalam objek itu sendiri, seperti bentuknya atau masanya, dan sifat yang kita cerap dalam diri kita sendiri—yakni efek-efek yang dipunyai benda itu bagi kita. Contoh bagi yang belakangan ialah warna.[xxi]
Gottfried Wilhelm von Leibniz
Leibniz adalah anak dari seorang profesor dibidang filsafat di Leipzig. Ayahnya meninggal saat dia berusia enam tahun. Semenjak kecil, ia telah disuguhi oleh ayahnya tumpukan buku-buku filsafat di perpustakaan pribadi milik ayahnya. Maka wajar saja ketika Leibniz sudah dewasa, menunjukkan bahwa ia adalah salah seorang filosof yang menghabiskan masa hidupnya untuk belajar. Ia belajar dimana ayahnya menjadi profesor bidang filsafat di Leipzig. Leibniz adalah terkenal sebagai ahli logika dan seorang metafisikawan, pada usianya yang ke sembilan belas, ia melakukan tambal-sulam terhadap silogisme Aristoteles. Bagi Leibniz, filsafat adalah hobi yang berkesinambungan, dan ia terlibat dalam diskusi filosofis dan korespondensi sepanjang hidupnya.[xxii] Ketertarikannya terhadap filsafat cartesianisme, berawal ketika dia dikirim ke paris untuk memerintahkan Louis XIV guna memimpin perang salib di Mesir. Pada masa itulah ia dengan serius membaca karya-karya filsafat Descartes.
Leibniz memulai pandangan filosofisnya berangkat dari metafisika, mulanya ia mengkaji pandangan metafisika Spinoza. Dia melakukan kritik mengenai pandangan ketuhanan spinoza. Ketika locke melakukan penolakan atas innate ideas melalui Essay concerning Human Understanding, tulisan ini menggusarkan Leibniz untuk melakukan serangan atas kritik Locke terhadap innate ideas Descartes. Jawaban Leibniz atas kritik Locke terselesaikan pada tahun 1704, namun pada tahun yang sama Locke meninggal dunia, untuk menghormati Locke yang telah meninggal dunia Leibniz memutuskan untuk tidak menerbitkan karyanya. Buku-buku Leibniz kebanyakan terbit setelah dia meninggal dunia.
Mengenai bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, Leibniz menawarkan empat tahap bagaimana manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pertama; pertama kita lahir kita tahu kita ada dan ada orang tua kita. Kedua, ia menolak metode deduksi Descartes dan setuju dengan metode induksi Locke. Ketiga; dengan melakukan pembandingan antara esensi suatu benda dengan benda lainnya, maka kita mendapatkan sebuah pengetahuan. Matahari yang kita lihat tidaklah sebesar matahari yang sebenarnya. Dan terakhir adalah pengetahuan yang didapat dari keapaan suatu benda, seperti pengetahuan lingkaran geometri.[xxiii]
Dalam hubungan jiwa dengan tubuh, Leibniz berpendapat bahwa tubuh berhubungan erat dengan jiwa. Tidak seperti pandangan Descartes yang menganggap tubuh hanya merupakan teman tidur (bersifat pasif), Leibniz memandang bahwa tubuh tidak terus-terusan terdiri dari ukuran, bentuk, dan gerakan, melainkan kita harus mengenali sesuatu yang terdapat dalam tubuh yang menghubungkan dengan jiwa,[xxiv] Leibniz menyebutnya dengan subtansi—Leibniz menyebut subtansi dengan monad. Ia menyebutkan bahwa di dalam manusia terdapat sesuatu yang menyerupai jiwa, Leibniz menyebutnya dengan subtansi (monad), yang memberi daya kepada tubuh untuk melakukan aktivitas. Menurutnya alam merupakan kumpulan dari berbagai monad, ia menolak ide ketunggalan monad Spinoza.
Monad adalah inti dari atom yang mempunyai ruang dan waktu. Monad tidak seperti materi, tetapi antara monad satu dengan yang lainnya saling berbeda. Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenyataan mental, yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Monad dikatakan oleh Leibniz sebagai daya hidup yang tidak material, melainkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup, sejajar dengan Cogito ergo sum-nya Descartes. Semua benda yang ada di alam semesta ini memiliki monad, menurut Leibniz tidak ada yang mati (diam) bahkan benda mati pun dikatakan bergerak. Yang membedakan monad satu dengan lainnya ialah tingkat geraknya. Leibniz mengadobsi prinsip identitas Aristoteles dalam melakukan pembedaan monad; jika A memiliki watak dan sifat yang sama dengan B, maka A = B. Namun menurut Leibniz tidak ada benda yang sama persis dengan kata lain masing-masing memiliki ruang tersendiri. Bagi Leibniz, benda mati hanya minimum gerak. Bahkan menurut Leibniz orang yang mati pun masih mempunyai monad dan minimum gerak.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat betapa filsafat bukanlah ilmu yang lepas dari sejarah terdahulunya. Penulis salut terhadap cara Descartes melakukan kritik terhadap skeptisme, karena menurut penulis Descartes menggunakan cara berpikir yang sama dengan para pengikut skeptisme, yakni dengan metode meragu. Bahkan Descartes lebih ekstrim daripada para pengikut skeptisme, dia meragukan juga tubuhnya. Setelah menggapai pengetahuan akan eksistensinya, kemudian dia memutar balik 1800 untuk merobohkan bangunan skeptisme. Namun, dia menimbulkan problem baru dengan lahirnya dualisme-cartesian dan menimbulkan persepsi terdapatnya mekanistik pada manusia. Dalam memandang hubungan antara jiwa dengan tubuh, Descartes memiliki lawan tandingan dari Inggris (Hobbes) yang melakukan kritik keras atas dualisme-cartesian. Descartes berpendapat bahwa manusia terdiri atas jiwa dan tubuh yang saling terpisah, sedangkan Hobbes berpendapat bahwa tidak ada dualitas antara jiwa dengan tubuh, menurutnya, jiwa dan tubuh adalah sebuah satu-kesatuan. Menariknya, keduanya sama-sama ingin meruntuhkan paradigma Aristotelian yang berkembangan dimasa itu, mereka juga sama-sama mengadopsi pandangan Aristoteles bahwa manusia berbeda dengan hewan.
Masih dari negara yang sama (Inggris), John Locke tampil sebagai sosok yang mengambil sebagian dari keduanya dan juga melakukan kritik terhadap keduanya. Dia setuju dengan pandangan dualisme-cartesian, namun dia melakukan penolakan terhadap innate ideas Descartes, melalui An Essay Concerning Human Understanding. Ia menganggap bahwa manusia ketika baru lahir tidaklah memiliki pengetahuan sama-sekali layaknya lembaran kertas bersih. Dan lembaran kertas menurut locke baru akan digores oleh pengetahuan melalui pengalaman inderawi.
Leibniz ialah sebagai seorang filosof yang mewarisi perpustakaan pribadi ayahnya, melakukan tambal sulam terhadap filsafat Aristoteles maupun para filosof sezamannya (Spinoza dan Locke). Sewaktu masih belasan tahun, dia melakukan rekontruksi terhadap silogisme Aristoteles. Dia melakukan penolakan terhadap ide dualisme antara jiwa denan tubuh Descartes melalui monadologi, dimana monad sebagai daya hidup yang mengandung unsur spiritual. Dia mengadopsi ide gerak Hobbes untuk menyerang Hobbes sendiri. Hobbes meyakini bahwa manusia dikatakan mati ketika berhenti bergerak, sedangkan menurut Leibniz tidak ada yang mati, bahkan benda mati pun bergerak.
Korelasinya antara dualisme-cartesian dengan krisis global, seperti krisis ekologi, kekerasan, konflik yang makin mengental, reifikasi, alienasi, dan dehumanisasi ialah pandangan dualisme-cartesian menimbulkan adanya sekularisasi di dalam semua bidang. Dualisme-cartesian memandang manusia tak ubahnya seperti robot. Pandangan tersebut merubah arah paradigma yang tadinya theomosphisme beralih menjadi antropomorphisme di mana tatanan kehidupan berpusat pada manusia (res-cogitan). Manusia menjadi penentu bagi dirinya sendiri, hal ini mengakibatkan keterputusan nilai-nilai spiritualitas. Akibatnya, manusia modern tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidupnya sendiri.[xxv] Pandangan dualistik-atomistik-mekanistik-materialistik yang subjektif mengabikatkan alienasi dan reifikasi kepada manusia, karena pandangan ini memandang segala sesuatu di luar dirinya sebagai objek/materi.[xxvi] Sehingga, manusia akan merasa teraleniasi dan tereifikasi dengan sendirinya terhadap dunia di luar dirinya.
Bahan bacaan
- Descartes, Rene. 2003. Discourse on Method. terj. Ahmad Fadhil Ma’ruf. Yogyakarta: IRCiSoD.
- Heriyanto, Husain. 2003. Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Terajau.
- Kenny, Anthony.2006. A New History of Western Philosophy.vol.3. The Rise of Modern Philosophy. USA: Oxford University.
- Lavine, T. Z. 2002. From Socrates to Satre; the Philosophy Quest. Terj. Andi Iswanto. Jakarta: Jendela.
- Solomon, Robert C. 2000. A Short History of Philosophy. Terj. Toni Setiawan dan Winarti. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Catatan Akhir
[i] Para filosof dalam tulisan ini yang dimaksudkan ialah Hobbes, Locke, Leibniz.
[ii] Heriyanto, Husain. 2003. Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Terajau. hlm. 14
[iii] Misalkan gunung, gedung. dll
[iv] Bandingkan. Kenny, Anthony. Hlm. 118
[v] Ini merupakan salah satu celah kritik yang seringkali diserang para filosof pascaDescartes. Ketika ia melakukan pembuktian akan adanya Tuhan, menurut para filosof Descartes menciptakan cartesian circle. Yang didalamnya terjadi tasalsulantara mana yang lebih dulu antara Tuhan yang Mahasempurna yang menciptakan pikiran dengan sempurna, dengan pikiran yang melakukan pembuktian keberadaan Tuhan. Menurut penulis dalam hal ini pandangan Descartes sangatlah teologis. Dalam Discourse on Method Descartes melakukan pembelaan atas kritik para filosof yang mengatakan lingkaran setan cartesian.
[vi] Bandingkan. Discourse on Method. terj. Ahmad Fadhil Ma’ruf. IRCiSoD: Yogyakarta. 2003. hlm. 56
[vii] CSMK dalam Kenny, Anthony. Ibid. hlm. 120
[viii] Kenny, Anthony. Ibid. hlm. 217
[ix] Ibid. 217
[x] Bandingkan dengan. Ibid. hlm. 217
[xi] Discourse on method dalam Anthony Kenny. Ibid. 218
[xii] Descartes, Rene. 2003. Discourse on Method. terj. Ahmad Fadhil Ma’ruf. Yogyakarta: IRCiSoDYogyakarta. hlm. 73-74
[xiii] Sebuah karya yang menganalogikan hubungan raja dengan rakyat layaknya hubungan tubuh dengan jiwa, di mana raja sebagai pusat motorik.
[xiv] Lihat. Kenny, Anthony. 41-42
[xv] Ibid. hlm.42
[xvi] Solomon, Robert C. 2000. A Short History of Philosophy. Terj. Toni Setiawan dan Winarti. Yogyakarta: Bentang Budaya. Hlm. 302
[xvii] Solomon, Robert C. 2000. A Short History of Philosophy. hlm. 352
[xviii] Kenny, Anthony. Hlm. 49-50
[xix] Lavine, T. Z. 2002. From Socrates to Satre; the Philosophy Quest. Terj. Andi Iswanto. Jakarta: Jendela. hlm. 132
[xx] Solomon, Robert C. 2000. A Short History of Philosophy. 353
[xxi] Solomon, Robert. C. Ibid. hlm. 353
[xxii] Solomon, Robert. C. Ibid. hlm. 344
[xxiii] Kenny, Anthony. hlm. 137
[xxiv] Bandingkan, Kenny, Anthony. hlm. 231
[xxv] Akrom, Ngabdullah. 2009. Tasawuf; Cahaya Penerang Modernisme. Makalah perkuliahan practical mysticism. 2009
[xxvi] Bandingkan. Suteja, Hardiansyah. Merayakan Keseluruhan: Menjajaki Paradigma Holistik dalam Kehidupan Sosial. Makalah dipresentasikan dalam agenda kajian ACROS-ICAS Jakarta pada Juli 2007
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Komentar
Posting Komentar