Sahdan. Jauh di tengah hutan Kalimantan, para binatang sedang
bergosip ria tentang manusia. Berbeda dengan ibu-ibu rumah tangga yang
sibuk ngobrolin infotaiment, bangsa binatang berdiskusi mengenai wacana
politik. Biasa di luar memang. Eitz, luar biasa maksudnya. Kalau Afrika
punya Amazon, Indonesia punya hutan yang tak kalah luasnya di
Kalimantan. Kira-kira demikian hutan Kalimantan punya cerita:
Ciputat 13/09/2012
Kancil sebagai figur yang terkenal karena dengan kecerdikannya memulai pembicaraan panas tersebut.
“Saudara-saudara
sebangsa binatang. Pernahkah kalian mendengar virus kursi gila yang
menimpa bangsa manusia? Tidakkah saudara-saudara sadari bahwa
belakangan, dalam dunia manusia, telah menyebar virus super ganas.” Kata
si Kancil sambil menghentakkan kakinya sembari membuka matanya
lebar-lebar, menatap setiap wajah di sekelilingnya.
“Sudah
kuduga, tak ada yang tahu di antara kalian semua. Baiklah. Virus ini
bisa mematikan daya kepekaan sesama manusia. Lebih gilanya, virus ini
bisa membuat Anda menjadi sangat rakus. Menurut isu yang berkembang,
virus ini hanya berada dikalangan politikus. Yakni mereka yang
berlomba-lomba merebutkan sebuah kursi. Tentu saja ini bukan sembarang
kursi.”
“Ealah, orang cuma kursi aja kok dibuat rebutan, apa memang nggak ada yang lain apa.” Sahut Bunglon sembari berpindah dari satu dahan kedahan lainnya.
“Sssttt…
Jangan salah. Sebab kursi yang satu ini, bisa membuat manusia
kehilangan kewarasannya. Untuk mendapatkan kursi tersebut, mereka rela
menjual segala yang dimilikinya, bahkan harga dirinnya. Anehnya,
walaupun begitu banyak korban stres akibat perebutan kursi tersebut,
masih saja mereka mengikuti kompetisi perebutan kursi gila itu. Konon,
ada satu wilayah di pulau Jawa sebelah Barat sana, sebanyak 500 orang
berebut 50 kursi. Bayangkan! Tentunya saudara-saudaraku bisa menghitung
sendiri tho. Berapa orang yang akan stres karena nggak dapat jatah kursi. Gila kan!?”
“Mantab! Kursi saja bisa bikin snewen!
Lalu bagaimana bung Cil, apa mungkin virus semacam itu bisa menyebar
kebangsa kita? Tanya si Monyet yang sejak semula khusuk menyimak.
“Why not?”
“Halah. Lagumu, Cil. Plenot, plenot…” sahut si Monyet.
“Sederhana Bung. Karena virus kursi gila itu pertama kali berkembang di kalangan politisi. So,
ada baiknya jika bangsa kita tidak perlu ikut-ikutan bangsa manusia,
menjadi politikus. Bangsa kita tidak membutuhkan ilmu perkursian.
Lagipula, bangsa kita sudah mempunyai hukum yang elok. Di kalangan
manusia, hukum yang kita jalani di rumah kita ini, dikenal dengan hukum
rimba. Terdengar sangat kasar, bukan? Padahal hukum kita ini adalah
sebuah hukum yang dicipta Tuhan dengan segala welas-asihnya. Hukum yang
ada di tempat kita ini merupakan hukum yang lahir dari kearifan-kearifan
di tanah kita. Maka kita tidak perlu capek-capek comot sana-sini dari
hukum-hukum yang ada di daerah lain. Tentu saja, akan terasa sangat
memaksa jadinya bila kita mengadopsi hukum-hukum dari daerah lain.”
“Kenapa kita tidak boleh menggunakan hukum daerah lain?” tanya Babi Hutan yang sedari tadi asyik-masyuk njerum* dalam lumpur.
“Lho, kok kenapa. Kan setiap wiyah punya local wisdom (kearifan lokal) masing-masing, tentu
saja tidak akan cocok kalau kita menggunakan hukum-hukum yang ada di
tetangga kita. Dan jika kita pergi ke tanah perantauan. Tentu kita juga
harus mengadaptasikan diri pada kearifan-kearifan lokal yang ada di
sana.”
Semut:
“Tul. Betul maksud saya saudara. Jalani hidup apa adanya, dan jangan
memaksakan sesuatu yang bukan tempatnya. Di mana bumi dipijak, disitu
langit dijunjung! Asal kalian jangan pada sembrono nginjek-nginjek aku yang kecil ini.”
Dorr! Dorr! Dorr!
Pembicaraan
pun berhenti setelah terdengar suara tembakan. Satu per satu
binatang-binatang tunggang-langgang meninggalkan ruang
pergosipan.
________________________________________________
*berendam
Mengemas ulang coretan lama.Ciputat 13/09/2012
Komentar
Posting Komentar