Jakarta menjerit! Begitulah gambaran warga Jakarta saban harinya. Sudah lama saya ingin menuliskan ini. Sejak kali pertama menginjakkan kaki di Ibukota. Saya merasa aneh dengan polah warga Jakarta. Apakah memang semua jagoan, merasa yang punya jalan, atau mungkin mengalami gangguan kejiwaan sehingga mereka harus menjerit di sepanjang jalan? Mungkin juga jeritan tersebut merupakan gambaran batin yang meronta-ronta, memohon ampun dari siksa macet yang telah menguras uang mereka?
Klazo adalah istilah Yunani yang berarti menjerit. Pangkal kata dari klakson. Sebuah alat yang mulai digunakan sejak
1908 yang ditemukan kerabat Thomas Edison, Miller Reese Hutchison.
Dengan daya elektromagnet dan kawat spiral, klakson bekerja sedemikian
rupa hingga menimbulkan laungan sekian skala kekuatan suara.
Waktu masih kecil, saat Bapak mengajariku mengendarai motor, ia
selalu memintaku membunyikan klakson, menyalakan lampu sent serta melihat kaca spion sebelum mendahului kendaran. Bapak
memintaku untuk membunyikan klakson seperlunya. “Mengalah lebih baik, sebab
yang penting selamat sampai tujuan”, begitu nasihat yang beliau berikan. Saat berjalan
di perkampungan, tak lupa ia memintaku untuk membunyikan klakson sebagai
ucapan, “Hai, Bro…”, “Aman, bos…” kepada orang yang dikenal. Sekadar untuk
menyapa.
Saya tak paham dengan logika klakson Ibukota. Para pengendara
kendaraan—entah roda berapa pun—tak cukup membunyikan klakson sekali saja, bila
perlu sebanyak mungkin dan diakhiri dengan klakson panjang. Mungkin warga
Ibukota gemar menyapa? Yang pasti aturan suara untuk membedakan jenis kendaraan
telah digubah semaunya sendiri. Mungkin mereka tak mau dibilang menggunakan kendaraan
berukuran kecil. Bahkan kendaraan roda dua pun tak mau kalah lengking dengan klakson
metro mini.
Siapa yang ingin telat masuk kerja, kencan, dan bertemu klien?
Rasanya tak ada yang ingin telat, termasuk para pengguna jasa angkutan umum
sekalipun. Jika yang berbunyi itu shirine ambulance atau pemadam kebakaran,
saya memaklumi mereka karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka sigap
dalam melayani masyarakat. Telat sedikit saja nyawa orang bisa melayang.
Entah kemana nalar saat terjadi macet atau rambu lalu lintas merah
menyala. Suara klakson berubah menjadi makian orang jalanan bertubi-tubi. “Woi! Minggir Njing!”, “Kasih Gue lewat
tolol!”, “Look at me, Bro!”, “Ini jalan moyang gue goblok!” Suara itu
sahut-menyahut seperti Serigala hutan yang saling ingin menunjukkan
kejantanannya.
Jika masih tak percaya Jakarta menjerit, coba tanyakan pada saudara,
kerabat, teman, atau siapa pun yang pernah tinggal di belahan dunia benua Biru.
Konon di sana hampir tidak kita dengar pekikan pengguna jalan. Mungkin ini
hanya soal kesadaran bersama tentang ruang publik, ketertiban dan rasa
disiplin?
Salam Rocker, Bro!
Komentar
Posting Komentar