Langsung ke konten utama

Kumbokarno Gugur: nguri-uri Kebudayaan dan Gus Dur

Pagelaran wayang 1000 Hari Gus Dur

 

Ba’da isya’ (26/09) ratusan orang sudah berkumpul di kediaman Gus Dur, Ciganjur. Semua orang lintas etnis dan agama, berkumpul dalam satu wadah demi memperingati 1000 hari Gus Dur. Kata “memperingati” memiliki kata dasar ingat dengan awalan me- dan akhiran –i, dimana dalam hal ini menjadi sebuah upaya untuk mengenang atau membuka lembaran-lembaran lama tentang Gus Dur. Bagi saya—tentu ini sangat sujektif—Gus Dur ibarat batu kristal yang memiliki banyak sisi. Pada setiap sisi yang kita dekati, selalu saja ada keindahan tersendiri. Ya. Itulah Gus Dur dengan segala keluar-biasaan dalam keterbiasaannya.

Malam itu kita diajak mengenal Gus Dur melalui pendekatan Budaya. Pagelaran wayang semalam suntuk sengaja diadakan keluarga ndalem. Alissa Wahid, Putri sulung Gus Dur, menceritakan bagaimana kecintaan Gus Dur terhadap budaya, wayang khususnya. Dulu saat mbak Alissa masih duduk di bangku perkuliahan di Yogyakarta, setiap Gus Dur datang ia wajib memberi ‘upeti’ berupa satu set kisah pewayangan. Begitu seterusnya hingga mbak Alissa selesai kuliah. Ia diberi tanggungan membelikan kaset kisah pewayangan lengkap yang dibawakan berbagai dalang.

Berbeda dengan pejabat jaman sekarang yang menenteng koper kemana-mana, Gus Dur hanya membawa kaset-kaset wayang beserta tape rekorder. Wajar jika dulu ia sempat ditunjuk sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Satu di antara sebabnya jelas karena rasa cintanya terhadap kebudayaan.
***
Malam sekamin larut. Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid memberikan tugas kepada Enthus Susmono untuk segera menjalankan tugasnya sebagai dalang. Kisah punya kisah, konon beberapa hari sebelum Gus Dur wafat, Ki Enthus sempat diminta almarhum mengangkat cerita Kumbokarno Gugur disebuah pagelaran wayang di suatu daerah di Jawa Timur. Itulah kenapa, Ki Enthus memilih lakon cerita Kumbokarno Gugur dalam pagelaran semalam. Memang tidak sedikit orang mengidentik dengan Kumbokarno dengan Gus Dur. Selain keduanya memiliki rasa nasionalis yang tinggi, persamaan lainnya adalah keduanya suka tidur. Masih membekas dalam ingatan kita bagaimana Gus Dur memimpin rapat peripurna DPR RI. Saat sidang paripurna usai, Gus Dur masih tertidur. Orang di sebelahnya membangunkan sembari bertanya bagaimana Gus Dur punya pendapat. Dengan ringan Gus Dur mengeluarkan jawaban yang akhirnya membuat para hadirin kebakaran jenggot, “Anggota-anggota DPR saat ini kayak anak TK.” Serta bagaimana Gus Dur membantu adiknya (Gus Mus) mengerjakan soal bahasa Prancis, sementara saat Gus Mus belajar, Gus Dur selalu tidur?

Begitu juga dengan tidurnya (tapa brata) Kumbokarno. Meski tak pernah turun gunung menyambangi saudaranya di Alengka, ia tahu apa saja yang terjadi meski dalam kondisi tidur. Ia tahu bagaimana Pamannya meninggal dalam peperangan. Ia tahu bagaimana Rahwana mengadu domba antara Sugriwa dengan Subali.

Ki Entus menceritakan bagaimana dua begawan tersebut tidur. Jika Gus Dur tidur dengan mendengarkan gendhing karawitan. Kumbokarno melakukannya dengan mendengarkan shalawatan. Akan tetapi keduanya tertidur dalam keadaan pasrah terhadap Dzat dimana semua berasal dan berakhir. Eling.

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana sikap nasionalis Kumbokarno. Ia berperang bukan karena Alengka yang ditawarkan Rahwana, bukan melakukan pembelaan terhadap kedzaliman, serta tidak untuk membalas kematian dua puteranya. Kumbokarno menyambut garis takdir yang harus ia lalui. Maju dan gugur di medan peperangan sebagai kesatria

Hal lain yang patut dijadikan pelajaran; walaupun Kumbokarno paham betul tindak-tanduk kakaknya yang semena-mena, ia tetap menghormati Dasamuka sebagai saudara tua. Bahkan sebelum berangkat ke gelanggang peperangan, ia tetap memohon restu dengan sungkem kepada kakaknya.
***
Dari sejak dibuat, kisah pewayangan memang selalu begitu. Ketika pagelaran dimulai, kita sudah bisa menebak siapa tokoh protagonis dan antagonisnya. Kita sudah tahu bagaimana akhir dari kisah terbut. Yang benar selalu menang melawan kebatilan. Klise memang. Tapi kenapa selalu saja ada yang menanggap wayang? Selain ingin melakukan pelestarian budaya, kelihaian dalang dalam melakukan improvisasi, menyelipkan problematika hidup saat ini, entah masalah Sosial, Ekonomi, Politik, kebermasyarakatan, hingga urusan dapur, kasur dan sebagainya.

Masalah politik misalnya, melalui tokoh Mbelong, Entus mendikte Rahwana tentang seni memimpin. Seorang pemimpin harus bisa mengayomi rakyatnya. Sebab jabatan merupakan amanat. Sifatnya hanya sementara. Jika semasa menjadi pemimpin tak pernah peduli kepada rakyat, maklum kelak saat lengser dan bukan lagi siapa-siapa, di kalangan orang kecil akan dipandang kecil, hina bahkan dina. Wallahua’lam.[cw]

Ujung Jakarta, 2012/09/27
Tulisan ini dimuat di NU On Line

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah dan Khittah PPMI Assalaam

Sejarah Berdiri PPMI Assalaam Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam merupakan karya besar yang lahir dari kegiatan pengajian keluarga. Bermula dari kecintaan H. Abdullah Marzuki dan istri, Hj. Siti Aminah, terhadap kegiatan pengajian keislaman Bapak H. Abdullah Marzuki di sela-sela kesibukan mengelola bisnis penerbitan Tiga Serangkai (TS), beliau mengajak semua keluarga, termasuk keluarga pegawai TS, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian demi meningkatkan kualitas Ilmu, iman, Islam, dan amal saleh. Di lihat dari latar belakang keluarga, sejak awal keluarga H. Abdullah Marzuki memiliki komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sebelum terjun ke dunia penerbitan dan percetakan, beliau dan istri sudah menjalankan profesi sebagai guru ( mu’allim ). Jiwa mendidik ini menggelora dan mendarah daging dalam urat nadi keluarga beliau sehingga di mana pun beliau berada selalu peduli terhadap pendidikan. Kepedulian beliau terhadap pendidika...

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof [i] Oleh: Ngabdulloh Akrom Abstraksi Keterpilahan antara kesadaran [mind] dan materi [matter]—dualisme cartesian—dianggap ikut bertanggung jawab terhadap munculnya pelbagai krisis global, seperti krisis ekologi, kekerasan, konflik yang makin mengental, reifikasi, alienasi, dan dehumanisasi. Fenomena ini juga tidak dapat lagi dugunakan untuk memahami fenomena-fenomena fisis, biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang saling terkait satu sama lain. [ii] Sekilas melihat, begitu mengerikan dampak dari dualisme-cartesian. Karena pernyataan di ataslah penulis ingin mengkaji lebih terperinci mengenai dualisme-cartesian. Dalam makalah ini, penulis mencoba melihat secara kritis apa itu dualisme-cartesian, dan membandingkan pemikiran antara Descartes, Hobbes, Locke dan Leibniz mengenai dualisme-cartesian. Untuk sistematika penulisannya, penulis melihat bagaimana pemikiran Descartes mengenai hubungan antara ji...

8 Tips Menulis Novel Fiksi ala Paulo Coelho

Bagi Anda para pecinta fiksi mistik, sufistik atau filosofis, tentu tak asing dengan nama penulis berdarah Amerika Latin, Paulo Coelho. Dari tangannya, terlahir karya masyhur seperti; The Alchemist, The Zahir, The Witch of Portobello, Eleven Minutes, The Winner Stands Alone dan sebagainya. Karya-karyanya telah terjual lebih dari 100 juta kopi, diterjemahkan dalam 67 bahasa di 150 negara di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Dalam web blog pribadinya, Coelho berbagi tips cara menulis buku atau novel sebagaimana pengalamannya selama ini kepada para penggemarnya. Berikut adalah beberapa cara yang perlu harus lakukan: Pertama, Keyakinan. Anda tidak bisa menjual buku yang diterbitkan berikutnya jika kita memandang rendah buku yang baru saja Anda terbitkan. Jadi, berbanggalah dengan apa yang Anda miliki. Ke dua, Percaya. Percayalah kepada pembaca, jangan menjelaskan sesuatu terlalu detail. Cukup beri petunjuk dan, biarkan para pembaca memenuhi petunjuk tersebut de...