Saat
pertama dua pasang mata kita beradu, aku tahu, ada yang ingin
kupersembahkan padamu. Cinta dan ketertarikan ini adalah hutang rasa
yang harus kembali, meski engkau tidak pernah menagihnya. Engkau pun
punya hutang padaku, karena engkau pula yang menyebabkan rasa ini
tercipta. Semesta akan mencatat perhitungan ini dengan cermatnya.
Ia
berjalan sendiri, menggerai rambut hitam panjangnya yang basah seusai
mandi. Di kali. Titik-titik air berjatuhan di pipinya, di gaunnya, di
tanah. Angin menyibak kembali rambut yang menutup sayu wajahnya. Mungkin
ingin menyapa atau sekadar membelainya. Tersenyum ia dalam titik-titik
air. Sayang, aku hanya kuasa memandangnya dari sela-sela daun jambu. Ia
pun menghilang di balik dedaunan ketika aku terlena dalam lamunanku,
sementara aku tetap di sini. Di sela daun jambu, merindui. Aku cemburu
entah pada siapa. Perasaan ini, cemburu ini, semakin mempercantik
parasnya dari hari ke hari.
Aku
tak tahu, apa esok atau lusa, atau hari-hari yang panjang nanti bisa
bertemu dengannya atau tidak. Aku tercekam oleh ketidakpastian. Betapa
bodoh aku yang terus menyelam di lautan ketidakpastian. Sesuatu yang
pasti dan kuyakini hanyalah, aku mencintai dan bahagia, saat ini.
Mungkin esok atau lusa aku tak berjumpa lagi dengannya. Tapi akan tetap
kubawa rasa bahagia ini ke mana saja. Keindahannya, pesonanya, selalu
mengilhamiku.
Senyum itu, tak mampu lepas dari benakku. Rekahan rona merah khas kembangdesa itu, membuat
membuat bibir ini bergerak dengan sendirinya, serasa aku menyapa
senyumnya. Oh cinta. Apa itu kamu? Aku hanya bisa merinduimu. Bayangnya
selalu hadir dalam tidurku, kejadian itu terus hadir dalam mimpiku.
Perasaan
penasaran membuatku mengembangkan sayap cintaku untuk mencari
keberadaannya. Hari terus berganti, namun keelokannya terus
menghinggapiku. Terus dan terus kucari keagungan itu, kuharap aku
menemukannya dan bisa ungkapkan isi hatiku kepadanya. Ya. Itu dia yang
aku impikan. Gadis itu, putri semata wayang kepala desa.
***
Sesekali ia keluar rumah dan duduk di beranda. Aku
tak berani mendekati karena malu. Seperti dedaunan dan sampah kering
yang berputar-putar di tengah jalan dihembus angin musim kemarau,
begitulah keraguanku. Hanya ada senyuman ketika saling bertatap mata.
Ah, dia masih di sana.
Cinta
adalah satu-satunya kelemahanku, namun, ia juga satu-satunya kekuatanku
untuk tetap berjalan. Aku mengembara dari kota ke kota. Kusadari
pikiran dan penglihatanku selalu baru, tapi masih saja ada rindu. Entahlah, jika semua ini tiada, juga pertemuanku dengannya yang sekilas saja.
Semoga
gerimis turun di awal April. Semoga langit disapu mendung di awal
April. Sebab ingin kukenang hujan yang turun di awal Desember tahun
lalu, saat aku melonjak-lonjak kegirangan seperti anak-anak yang
meloncat-loncat di bawah guyuran hujan. Saat itu pula ia berdiri di
pintu rumahnya sambil mengawasiku. Tatap mata adalah getaran rasa.
Kurasakan tatapan itu saat kutolehkan wajah padanya. Matanya yang lembut
bertemu cukup lama dengan mataku yang kasar. Bibirnya tersenyum
mendahului senyumku. Aku tak tahu pasti apa yang dirasanya waktu itu.
Namun segala sesuatu akan tampak lebih syahdu bila hujan datang. Tiada
suara selain rintikan air yang menderas, seperti jarum-jarum cair yang
berjatuhan di hatiku.
Aku
pelahan mengendap padanya. Mata lembut itu. Aku tidak berani menatap
jauh lebih dalam padanya. Jantungku bergoncang dengan hebohnya. Seperti
gunung yang hendak mengeluarkan isi perutnya. Tak satu pun kata mampu
melesat dari bibirku. Gemuruh petir, menambah degup jantungku. Aku mulai
menggerakkan bibirku pelahan, tak tahu apa yang akan keluar darinya, ”cantik,”
tanpa aku menatanya terlebih dahulu dalam pikiranku. Ya. Kata
perwujudan pemujaanku. Menyiratkan pesan dari lubuk hatiku. Apakah
mungkin ia punya perasaan yang sama?, dalam benakku bertanya. Ia hanya
membalas dengan senyum kedamaian. Itu sudah cukup bagiku.
Hujan
semakin deras. Aku masih dalam posisiku. Didalam keheningan. Mata
beningnya menyimpan teka-teki yang sulit kutebak. Tubuhku bergerak
diluar kendali otakku, Mata yang nakalku tak mau meninggalkan
kesempurnaannya, menelisik pelahan disetiap jengkal kesempurnaannya,
dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, tak satu pun celah kecacatan aku
temukan pada dirinya. Tubuhnya yang berkelok. Pipinya yang merona.
Senyumnya. Oh, tuhan. Bayangan itu tak mau lepas dari memoriku. Apakah
ini cinta yang sebenarnya? Tak tahan mata ini melihat
keagungannya, dengan menitipkan senyuman pada rintikan hujan yang
semakin deras, pelahan aku meninggalkannya.
Sesak
di dadaku ketika aku tinggalkan ia. Ah, betapa bodohnya diriku, begitu
saja kutinggalkannya. Aku tidak yakin ia mengerti maksud dari kataku
kala itu. Seharusnya aku ungkapkan perasaanku. Hanya tolehan dengan
senyum penuh harapan akan balasan cinta darinya. Kuharap ia mengerti
isyarat isi hatiku.
***
Tahun
demi tahun silih berganti, namun gerimis tetap saja sama. Seperti
menyampaikan pesan kepadaku, bahwa ada yang tak berubah dari segala
sesuatu yang terus berubah. Kesetiaan, mungkin
itu air hujan. Dua tahun sudah aku meninggalkan rumah. Namun, paras
wajahnya tak pernah lepas dari benakku. Kini aku berada di negeri orang.
Besar harapku kembali pulang. Semilir angin tak hentinya datang,
membawa wanginya menyebrangi padang gersang.
Sampai
saat ini, aku masih memperjuangkan dalam khayalanku. Kuyakin bahwa ia
akan menunggu datangku. Sedang akal ini bilang, “Jangan kau mimpi
disiang bolong!” Jika benar awal hidup adalah mimpi, maka biarkanlah
daku pulas tertidur, menyuji mimpi.
_________________________________________________
Kertamukti, 21 mei 2008
Komentar
Posting Komentar