Langsung ke konten utama

Menyuji Mimpi

Saat pertama dua pasang mata kita beradu, aku tahu, ada yang ingin kupersembahkan padamu. Cinta dan ketertarikan ini adalah hutang rasa yang harus kembali, meski engkau tidak pernah menagihnya. Engkau pun punya hutang padaku, karena engkau pula yang menyebabkan rasa ini tercipta. Semesta akan mencatat perhitungan ini dengan cermatnya.

Ia berjalan sendiri, menggerai rambut hitam panjangnya yang basah seusai mandi. Di kali. Titik-titik air berjatuhan di pipinya, di gaunnya, di tanah. Angin menyibak kembali rambut yang menutup sayu wajahnya. Mungkin ingin menyapa atau sekadar membelainya. Tersenyum ia dalam titik-titik air. Sayang, aku hanya kuasa memandangnya dari sela-sela daun jambu. Ia pun menghilang di balik dedaunan ketika aku terlena dalam lamunanku, sementara aku tetap di sini. Di sela daun jambu, merindui. Aku cemburu entah pada siapa. Perasaan ini, cemburu ini, semakin mempercantik parasnya dari hari ke hari.

Aku tak tahu, apa esok atau lusa, atau hari-hari yang panjang nanti bisa bertemu dengannya atau tidak. Aku tercekam oleh ketidakpastian. Betapa bodoh aku yang terus menyelam di lautan ketidakpastian. Sesuatu yang pasti dan kuyakini hanyalah, aku mencintai dan bahagia, saat ini. Mungkin esok atau lusa aku tak berjumpa lagi dengannya. Tapi akan tetap kubawa rasa bahagia ini ke mana saja. Keindahannya, pesonanya, selalu mengilhamiku.

Senyum itu, tak mampu lepas dari benakku. Rekahan rona merah khas kembangdesa itu, membuat membuat bibir ini bergerak dengan sendirinya, serasa aku menyapa senyumnya. Oh cinta. Apa itu kamu? Aku hanya bisa merinduimu. Bayangnya selalu hadir dalam tidurku, kejadian itu terus hadir dalam mimpiku.

Perasaan penasaran membuatku mengembangkan sayap cintaku untuk mencari keberadaannya. Hari terus berganti, namun keelokannya terus menghinggapiku. Terus dan terus kucari keagungan itu, kuharap aku menemukannya dan bisa ungkapkan isi hatiku kepadanya. Ya. Itu dia yang aku impikan. Gadis itu, putri semata wayang kepala desa.
***
Sesekali ia keluar rumah dan duduk di beranda. Aku tak berani mendekati karena malu. Seperti dedaunan dan sampah kering yang berputar-putar di tengah jalan dihembus angin musim kemarau, begitulah keraguanku. Hanya ada senyuman ketika saling bertatap mata. Ah, dia masih di sana.

Cinta adalah satu-satunya kelemahanku, namun, ia juga satu-satunya kekuatanku untuk tetap berjalan. Aku mengembara dari kota ke kota. Kusadari pikiran dan penglihatanku selalu baru, tapi masih saja ada rindu. Entahlah, jika semua ini tiada, juga pertemuanku dengannya yang sekilas saja.
Semoga gerimis turun di awal April. Semoga langit disapu mendung di awal April. Sebab ingin kukenang hujan yang turun di awal Desember tahun lalu, saat aku melonjak-lonjak kegirangan seperti anak-anak yang meloncat-loncat di bawah guyuran hujan. Saat itu pula ia berdiri di pintu rumahnya sambil mengawasiku. Tatap mata adalah getaran rasa. Kurasakan tatapan itu saat kutolehkan wajah padanya. Matanya yang lembut bertemu cukup lama dengan mataku yang kasar. Bibirnya tersenyum mendahului senyumku. Aku tak tahu pasti apa yang dirasanya waktu itu. Namun segala sesuatu akan tampak lebih syahdu bila hujan datang. Tiada suara selain rintikan air yang menderas, seperti jarum-jarum cair yang berjatuhan di hatiku.

Aku pelahan mengendap padanya. Mata lembut itu. Aku tidak berani menatap jauh lebih dalam padanya. Jantungku bergoncang dengan hebohnya. Seperti gunung yang hendak mengeluarkan isi perutnya. Tak satu pun kata mampu melesat dari bibirku. Gemuruh petir, menambah degup jantungku. Aku mulai menggerakkan bibirku pelahan, tak tahu apa yang akan keluar darinya, ”cantik,” tanpa aku menatanya terlebih dahulu dalam pikiranku. Ya. Kata perwujudan pemujaanku. Menyiratkan pesan dari lubuk hatiku. Apakah mungkin ia punya perasaan yang sama?, dalam benakku bertanya. Ia hanya membalas dengan senyum kedamaian. Itu sudah cukup bagiku.

Hujan semakin deras. Aku masih dalam posisiku. Didalam keheningan. Mata beningnya menyimpan teka-teki yang sulit kutebak. Tubuhku bergerak diluar kendali otakku, Mata yang nakalku tak mau meninggalkan kesempurnaannya, menelisik pelahan disetiap jengkal kesempurnaannya, dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, tak satu pun celah kecacatan aku temukan pada dirinya. Tubuhnya yang berkelok. Pipinya yang merona. Senyumnya. Oh, tuhan. Bayangan itu tak mau lepas dari memoriku. Apakah ini cinta yang sebenarnya? Tak tahan mata ini melihat keagungannya, dengan menitipkan senyuman pada rintikan hujan yang semakin deras, pelahan aku meninggalkannya.

Sesak di dadaku ketika aku tinggalkan ia. Ah, betapa bodohnya diriku, begitu saja kutinggalkannya. Aku tidak yakin ia mengerti maksud dari kataku kala itu. Seharusnya aku ungkapkan perasaanku. Hanya tolehan dengan senyum penuh harapan akan balasan cinta darinya. Kuharap ia mengerti isyarat isi hatiku.
***
Tahun demi tahun silih berganti, namun gerimis tetap saja sama. Seperti menyampaikan pesan kepadaku, bahwa ada yang tak berubah dari segala sesuatu yang terus berubah. Kesetiaan, mungkin itu air hujan. Dua tahun sudah aku meninggalkan rumah. Namun, paras wajahnya tak pernah lepas dari benakku. Kini aku berada di negeri orang. Besar harapku kembali pulang. Semilir angin tak hentinya datang, membawa wanginya menyebrangi padang gersang.

Sampai saat ini, aku masih memperjuangkan dalam khayalanku. Kuyakin bahwa ia akan menunggu datangku. Sedang akal ini bilang, “Jangan kau mimpi disiang bolong!” Jika benar awal hidup adalah mimpi, maka biarkanlah daku pulas tertidur, menyuji mimpi.


 _________________________________________________
Kertamukti, 21 mei 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah dan Khittah PPMI Assalaam

Sejarah Berdiri PPMI Assalaam Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam merupakan karya besar yang lahir dari kegiatan pengajian keluarga. Bermula dari kecintaan H. Abdullah Marzuki dan istri, Hj. Siti Aminah, terhadap kegiatan pengajian keislaman Bapak H. Abdullah Marzuki di sela-sela kesibukan mengelola bisnis penerbitan Tiga Serangkai (TS), beliau mengajak semua keluarga, termasuk keluarga pegawai TS, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian demi meningkatkan kualitas Ilmu, iman, Islam, dan amal saleh. Di lihat dari latar belakang keluarga, sejak awal keluarga H. Abdullah Marzuki memiliki komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sebelum terjun ke dunia penerbitan dan percetakan, beliau dan istri sudah menjalankan profesi sebagai guru ( mu’allim ). Jiwa mendidik ini menggelora dan mendarah daging dalam urat nadi keluarga beliau sehingga di mana pun beliau berada selalu peduli terhadap pendidikan. Kepedulian beliau terhadap pendidika...

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof [i] Oleh: Ngabdulloh Akrom Abstraksi Keterpilahan antara kesadaran [mind] dan materi [matter]—dualisme cartesian—dianggap ikut bertanggung jawab terhadap munculnya pelbagai krisis global, seperti krisis ekologi, kekerasan, konflik yang makin mengental, reifikasi, alienasi, dan dehumanisasi. Fenomena ini juga tidak dapat lagi dugunakan untuk memahami fenomena-fenomena fisis, biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang saling terkait satu sama lain. [ii] Sekilas melihat, begitu mengerikan dampak dari dualisme-cartesian. Karena pernyataan di ataslah penulis ingin mengkaji lebih terperinci mengenai dualisme-cartesian. Dalam makalah ini, penulis mencoba melihat secara kritis apa itu dualisme-cartesian, dan membandingkan pemikiran antara Descartes, Hobbes, Locke dan Leibniz mengenai dualisme-cartesian. Untuk sistematika penulisannya, penulis melihat bagaimana pemikiran Descartes mengenai hubungan antara ji...

8 Tips Menulis Novel Fiksi ala Paulo Coelho

Bagi Anda para pecinta fiksi mistik, sufistik atau filosofis, tentu tak asing dengan nama penulis berdarah Amerika Latin, Paulo Coelho. Dari tangannya, terlahir karya masyhur seperti; The Alchemist, The Zahir, The Witch of Portobello, Eleven Minutes, The Winner Stands Alone dan sebagainya. Karya-karyanya telah terjual lebih dari 100 juta kopi, diterjemahkan dalam 67 bahasa di 150 negara di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Dalam web blog pribadinya, Coelho berbagi tips cara menulis buku atau novel sebagaimana pengalamannya selama ini kepada para penggemarnya. Berikut adalah beberapa cara yang perlu harus lakukan: Pertama, Keyakinan. Anda tidak bisa menjual buku yang diterbitkan berikutnya jika kita memandang rendah buku yang baru saja Anda terbitkan. Jadi, berbanggalah dengan apa yang Anda miliki. Ke dua, Percaya. Percayalah kepada pembaca, jangan menjelaskan sesuatu terlalu detail. Cukup beri petunjuk dan, biarkan para pembaca memenuhi petunjuk tersebut de...