Konsep produksi kopi berkelanjutan (sustainability) yang digagas oleh ICO
melalui resolusi 407, pada dasarnya bertujuan untuk mendongkrak
kualitas produksi kopi akibat banjir kopi berkualitas rendah yang
melanda Eropa pada tahun 90-an. Secara lebih spesifik, keberlanjutan
produksi kopi merupakan upaya meningkatkan kualitas produksi kopi tanpa
menyebabkan kerusakan lingkungan, memberikan keuntungan pada sektor
ekonomi, dan dapat diterima (dikonsumsi) oleh publik. Selanjutnya,
sistem keberlanjutan produksi kopi, oleh para konsumen kopi di negara-negara maju, diadopsi ke dalam sistem perdagangan kopi dunia dalam bentuk sertifikasi.
Untuk mendapat pengakuan sebagai sebuah produsen kopi yang tersertifikasi, produk tersebut harus ditinjau terlebih dahulu melalui uji standar penilaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sertifikasi yang dipercaya konsumen, seperti Organic, Fair Trade, Rainforest Alliance, 4C (Common Code), dan sebagainya. Tiap lembaga sertifikasi tersebut memiliki standar dan nilai tambah yang berbeda-beda satu sama lain.
Bagi Eko, ketika sebuah produksi kopi telah berlangsung secara keberlanjutan, maka secara otomatis produsen kopi berhak memperoleh sertifikasi. “Kita seharusnya berpikir tentang sustainability, bukan sertifikasi. Karena sertifikasi merupakan reward dari pekerjaan yang berlangsung secara sustainable. Artinya, kita bertani tanpa merusak lingkungan. Jadi, sekarang kita tanam kopi, 50 tahun lagi anak-cucu kita masih punya air. Sebab ekosistemnya terjaga,” pungkasnya.
Untuk mendapat pengakuan sebagai sebuah produsen kopi yang tersertifikasi, produk tersebut harus ditinjau terlebih dahulu melalui uji standar penilaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sertifikasi yang dipercaya konsumen, seperti Organic, Fair Trade, Rainforest Alliance, 4C (Common Code), dan sebagainya. Tiap lembaga sertifikasi tersebut memiliki standar dan nilai tambah yang berbeda-beda satu sama lain.
"Kita seharusnya berpikir tentang sustainability, bukan sertifikasi. Karena sertifikasi merupakan reward dari pekerjaan yang berlangsung secara sustainable. Artinya, kita bertani tanpa merusak lingkungan. Jadi, sekarang kita tanam kopi, 50 tahun lagi anak-cucu kita masih punya air. Sebab ekosistemnya terjaga.”Menurut Eko Purnomowidi, pendiri Klasik Beans, sertifikasi kopi di Indonesia masih sekadar di atas kertas. “Berdasar pengalaman saya, kebanyakan orang Indonesia memandang sertifikasi sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan lebih dari kopi. Orang-orang berlomba untuk memperoleh sertifikasi tanpa peduli dengan kualitas kopi itu sendiri. Jadi, ketika kopi mereka tak laku, mereka lantas menyalahkan badan sertifikasi,” ujarnya. Bagi Eko, yang utama dalam industri kopi bukanlah sertifikasi, melainkan keberlanjutan itu sendiri. “Jadi upaya kami di sini, yang penting petani tahu bagaimana mengolah pertaniannya secara sustainable. Petani tahu bagaimana menentukan bibit yang bagus, merawat, hingga cara memetik yang benar. Kopi itu seperti cokelat, ketika rumah atau tempat tumbuhnya tidak terjaga, maka dia tidak akan produktif. Jika tidak produktif, bagaimana ia bisa sustain?”, sambung Eko.
Bagi Eko, ketika sebuah produksi kopi telah berlangsung secara keberlanjutan, maka secara otomatis produsen kopi berhak memperoleh sertifikasi. “Kita seharusnya berpikir tentang sustainability, bukan sertifikasi. Karena sertifikasi merupakan reward dari pekerjaan yang berlangsung secara sustainable. Artinya, kita bertani tanpa merusak lingkungan. Jadi, sekarang kita tanam kopi, 50 tahun lagi anak-cucu kita masih punya air. Sebab ekosistemnya terjaga,” pungkasnya.
________________________________________________
Tulisan ini merupakan publikasi ulang atas artikel saya di Bincangkopi.com
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Komentar
Posting Komentar