Espresso |
Bagi kamu yang biasa nongkrong di Starbucks atau biasa nongkrong di kafe, tentu akrab dengan minuman seperti Caffe Latte, Cappucino, Macchiato, Con Panna, Affogato.
Tapi tahukah kamu jika berbagai minuman tersebut berbahan dasar
Espresso? Mengenai istilah terakhir, saya memiliki pengalaman yang unik.
Bisa jadi kamu juga pernah mengalaminya. Semoga saja tidak.
Sekitar 8 tahun lalu, seorang teman perempuan pada forum diskusi
online asal Surabaya datang ke Jakarta karena urusan kantor. Ibarat
kata, “sambil menyelam minum air”, ia mengajak saya kopi darat di sebuah
kedai kopi tak jauh dari tempat menginapnya.
Sekitar jam 4 sore, kami bertemu pada tempat yang sudah ditentukan.
Dia telah tiba 10 menit lebih cepat. Begitu saya duduk, dengan sigap dan
senyum tampak memaksa, seseorang berpakaian rapi datang menyodorkan
daftar menu. Melihat daftar menu yang ada, saya bingung mau memesan apa.
Yang tampak hanya daftar istilah asing dan harga. Ya, itu adalah
pengalaman pertama saya minum kopi di kafe. Biasanya kalau mau ngopi,
saya pergi ke burjo atau menyeduh sendiri dengan membeli “kopi sobek” di
warung kelontong. Di antara dafar menu yang ada, istilah seperti Americano, Cappuccino, Espresso, Machiato,
semua yang berakhiran dengan vokal “o” begitu asing. Sementara itu,
pesanan teman saya yang sampai lebih awal telah tiba. Secangkir kopi
dengan buih susu berlukiskan bunga pada permukaannya. “Jadi mau pesan
yang mana, Mas?”, tanya pelayan yang baru saja meletakkan pesanan.
Saya semakin bingung. Mau tanya nama pesanan yang baru saja sampai,
tapi gengsi. Pesan kopi tubruk, tidak ada di dalam menu. “Espresso!”,
kata ajaib tersebut muncul setelah membolak-balik daftar menu yang ada,
dan harga minuman itu yang paling pas buat kantong saya. “Mau yang single atau double?”, tambah sang pramusaji.
Alamak! Espresso saja tak tahu, kok ditanya mau single atau double. Tanpa pikir panjang, “Yang single aja,” jawabku. Pelayan tersebut kembali bertanya, “Mau yang original apa yang blend?” Langsung kujawab, “original”. Ia masih saja berdiri di sampingku.
“Untuk yang original, kami ada Gayo, Toraja, Kintamani, dan
Wamena.” Kalau ini semacam acara hantu-hantuan, mungkin saya sudah
melambaikan tangan ke arah CCTV. Setelah menghela nafas panjang, saya
putuskan menjawab Toraja. Setelah pelayan pergi, kami mulai ngobrol
santai soal kesibukan masing-masing. Tak lama kemudian pelayan tersebut
datang membawa pesanan saya. Seraya mengucapkan terimakasih, saya
terperanga melihat secangkir kecil kopi pekat dengan lapisan berwarna
keemasan pada bagian atasnya. Kenapa cangkir kopi saya jauh lebih kecil
dari milik teman saya. Sudahlah, yang penting ngopi.
Meski ia berukuran kecil, tapi aroma yang keluar dari kopi tersebut
membuat saya tak tahan untuk segera menyeruputnya. Saya memejamkan mata
sembari mengerenyitkan dahi karena tak tahan rasa pahit yang menusuk di
lidah. Menurut saya pada waktu itu, rasa espresso tak lebih baik
daripada “kopi sobek” yang biasa saya minum saban hari. Begitu pahit.
Mungkin dalam benak teman saya, ia tertawa terpingkal-pingkal melihat
ekspresi saya saat menyeruput espresso. Saya merasa berat jika harus
mengeluarkan uang untuk membayar minuman superpahit ini. Tapi ya
sudahlah, malu bertanya pahit rasanya. Itu karena kecerobohan saya yang
enggan bertanya sebelum memesannya. Beruntung ada gula yang diletakkan
pada setiap meja, akhirnya saya pun bisa menghabiskan kopi tersebut. Tak
terasa satu jam sudah kami berada di kafe tersebut. Kami pun berpisah.
_______________________
Tulisan ke dua saya untuk bincangkopi.com
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Komentar
Posting Komentar