Sekilas membaca judul di atas, mungkin Anda akan berpikir, "Ini orang sudah gila", "Ya Tuhan, apa-apaan ini?", "Semoga saudaraku ini kembali ke jalan yang benar." Ok. Don't judge the book by the cover, mungkin nasehat itu bisa kita gunakan di sini. let's we see.
Beberapa waktu lalu, saat berbicara tentang masa depan dengan seorang kawan, saya terhenyak kaget dengan ungkapannya tentang pernikahan. Mulanya kami asyik-masyuk berbicara problematika kenegaraan yang tak kunjung surut. Saat perdebatan mulai tidak jelas kemana arahnya, saya mencoba mencairkan suasana dengan melemparkan sebuah pertanyaan,
“Bung, kira-kira kapan kau mau menikah?”
Setelah menghela nafas panjang, dia menatap mataku dalam dan tersenyum. Mungkin dia sedang menertawakan pertanyaanku, karena saya juga belum menikah. Tangan kanannya berayun menepuk pundakku.
“Kenapa kita harus menikah? Memang apa yang sebenarnya kita inginkan dari sebuah pernikahan? Pengen dipijitin?, ada panti pijat atau kalau lu punya duit tinggal spa, beres kan!?. Pengen dicuciin baju kita? Gampang…, ini zaman modern cuy, ada mesin cuci juga ada laundry. Pengen dimasakin? Apa lagi yang ini, sekarang ini banyak restoran siap saji, bisa tinggal telfon. Kalau nggak punya duit, bisa di abang-abang pinggir jalan atau Warteg. Atau pengen diservis?? Tuh, di pinggir jalan aja banyak.”
Selesai menjawab pertanyaanku, ia tertawa terbahak-bahak. Entah, apakah ia sekadar bercanda atau menertawakan pertanyaanku yang terasa tolol baginya. Kepulan asap yang melingkupi wajah bulat telur itu, mengakhiri gelak tawa temanku.
“Pernikahan itu, Bung, tak ubahnya legalitas berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan,” Simpulnya.
***
Benar-benar sial. Gara-gara percakapan siang itu, malam harinya saya harus memutar seluruh isi kepala. Diam. Termangu. Mencoba mencari makna dibalik pernikahan. Saya kehilangan konsentrasi, rasanya, temanku berulang-ulang berbisik ditelingaku, “Menikah itu kuno. Basi. Nggak jaman.Pernikahan, hubungan sex yang dikonstitusikan oleh agama.”
Sekilas menalar, rasanya apa yang dikatakan temanku ada benarnya. Tapi hati ini masih berat untuk mengiyakan. Setelah sekian lama berpikir, kuputuskan untuk mencari buku catatan lamaku. Halaman demi halaman kulihat, berhenti pada sebuah tulisan, “Menikahi Tuhan”.
Sahabat Kompasiana, kurang-lebih catatan itu menceritakan demikian:
“Pernikahan adalah sesuatu yang suci dan mulia. Ketika kita menikah, berarti kita menebarkan dimensi kasiah-sayang Tuhan yang berada dalam diri kita. Semua tradisi atau agama, menyatakan bahwa Tuhan berada dalam setiap manusia, atau Tuhan melingkupi segala wujud yang ada. Kalau kita perhatikan apa yang ada di sekitar kita, semua pasti terlingkupi oleh aspek maskulin (keperkasaan) dan feminin (kelemah-lembutan). Tidak berarti bahwa yang maskulin itu harus laki-laki, dan feminin harus perempuan. Namun acap kali kita temukan aspek maskulin pada laki-laki dan feminin pada perempuan. Bukan berarti kalau kita menemui hal di luar itu adalah sebuah kesalahan. Melainkan itu menandakan bahwa Tuhan sebagai yang Maha Takterbatas (The Infiniti). Karena Dia Takterbatas, maka itu Dia memancar ke segala penjuru. Apa pun bentuknya.”
***
“Sungguh bahasa yang rumit,” gumamku. Dari catatan di atas, saya mencoba mencari benang merahnya. Jika sebuah pernikahan hanya didasari kebutuhan seksual belaka, maka cinta yang demikian tidak akan langgeng atau abadi. Karena seiring dengan bergulirnya waktu, kebutuhan seksualitas manusia akan berkurang. Dan daya tarik seksualitas seseorang juga berkurang termakan oleh ruang dan waktu.
Begitu halnya dengan cinta yang yang dikarenakan atas harta, popularitas, keturunan, trend, pangkat, atau hal lainnya yang hanya terpaku pada masalah duniawi, maka cinta itu akan kandas di tengah jalan. Cinta yang demikan adalah perwujudan dari cinta kepada dirinya sendiri, namun dikemas dalam fisik orang lain (pasangan kita). Jika kita berkeinginan agar cinta kita abadi, maka “nikahilah Tuhan”. Karena Tuhan adalah entitas (keberadaan) yang takterbatas. Karena tak-terbatas, maka Dia beyond time and space. Karena melampaui ruang dan waktu, maka Dia (Cinta) Abadi.[] Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar