Langsung ke konten utama

Kompasiana dan Masa Depan Jurnalistik Demokratis Indonesia


9 Februari 2012, masyarakat Indonesia merayakan Hari Pers Nasional (HPN) ke 27. Begitu beragam cara orang mengekspresikan perayaan HPN. Termasuk membuat status di Twitter–biasa dikenal dengan istilah tweet. Baik dari kalangan jurnalis, politisi, budayawan, hingga masyarakat umum sebagian membuat tweet tentang HPN (silahkan searching sendiri). Kolumnis gaek Tempo (Goenawan Mohamad–GM) misalnya, melalui akun twitternya (@gm_gm) ia menuliskan : Hari lahir PWI akan lebih pas jd Hari Pers Nasional jika PWI menyesali kesalahannya ikut menindas kebebasan pers di masa OrBa. Tentu bukan tanpa sebab GM menulis itu. GM kembali mengingatkan kita pada sejarah kelam kebebasan pers di Indonesia.

Secara historis, dunia jurnalistik Indonesia bermetamorfosa sesuai dengan zamannya. Pasca-kemerdekaan RI, tahun 1945 hingga 1950, pers berfungsi sebagai sarana informasi dan alat legitimasi untuk mewartakan dan mengajak rakyat untuk berjuang bersama. Pada masa itu telah dibentuk wadah bagi para jurnalis Indonesia, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Solo pada 1946. Beberapa surat kabar yang ada pada masa itu antara lain; Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, IndependentIndonesian News Bulletin, Warta Indonesia dan, The voice of Free Indonesia.

Tahun berikutnya (1950-1960), Pers Indonesia beralih fungsi menjadi alat politik. Ia menjadi alat propaganda untuk menjatuhkan lawan politik. Dampaknya, tahun itu menjadi saksi bisu cerita duka dunia pers Indonesia. Pada masa ini, kita teringat dengan sosok pemuda keturunan Tiong Hoa, Soe Hok Gie. Dalam keadaan politik yang panas, Gie memberanikan diri melakukankan kritik-kritik pedas terhadap pemerintah. Analisanya yang tajam, membuat para politikus menjadi gerah. Saya masih tak yakin jika ia meninggal karena keracunan. Berkat gagasan-gagasannya yang brilian, akhirnya tampuk kekuasaanSoekarno pun lengser. Soeharto hadir sebagai kandidat berkat surat sakti yang sampai sekarang masih dalam tanda tanya.

Pada Masa OrBa, adanya penggabungan beberapa ParPol, akhirnya pers berdiri secara independen. Para jurnalis mulai berani melakukan kritik terhadap pemerintahan. Alhasil, Soeharto membekukan dunia pers Indonesia. Sejak itu, hampir tak ada wartawan yang berani mengusik pemerintahan. Segala macam bacaan dan tulisan “Kiri” yang notabene menentang penguasa “haram”. Hal itu biasa menjadi buah bibir para senior tiap perayaan HPN. Pada tahun 1985, berkat usulan Harmoko saat menjabat ketua PWI periode 1978, OrBa membangun citranya dengan menetapkan 9 Februari sebagai HPN.

Para jurnalis tak selamanya mau dikebiri pemerintah. Era 90-an, menjadi catatan sejarah perjuangan pers Indonesia melawan tekanan. Pers menjadi alat pemantau kinerja pemerintahan. Tak jarang berbagai kritik dilemparkan. Hal itu berujung pada berpindahnya tampuk kekuasaan Soeharto kepada BJ Habibie. Dunia pers Indonesia kembali bernafas lega saat ditiadakannya Departemen Penerangan.
Era selanjutnya, dunia pers bisa dibilang telah memperoleh hak kebebasannya. Berbagai mediamassa mulai menjamur. Mereka harus bersaing kualitas demi memperoleh perhatian masyarakat. Saat ini media tak hanya mewartakan perkembangan politik dan perkembangan dunia. Pers juga mulai memanjakan masyarakat dengan berbagai informasi, seperti yang ada di dalam Kompasiana; Humaniora, Ekonomi, Hiburan, Olahraga, Lifestyle, Wisata, Kesehatan, Teknologi, Media, Green, fiksi dan sebagaianya.

Kompasiana hadir sebagai wadah perkembangan dunia jurnalis diera globalisasi. Adanya internet memudahkan masyarakat dalam memperoleh dan menyampaikan informasi.  Di sini warga terlibat dalam dunia jurnalisme yang biasa dikenal dengan citizen journalism. Melalui citizen journalism terwujudlah media yang demokratis. Tentu di sini kita perlu memperhatikan bagaimana nasib insan jurnalis dalam memperoleh kebebasan pers dan upah yang layak.

Terlepas apakah HPN 9 Februari berbau politis, saya ucapkan selamat Hari Pers Nasional, semoga dunia jurnalisme Indonesia semakin maju dan, tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.

Artikel ini saya posting dalam akun kompasiana saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah dan Khittah PPMI Assalaam

Sejarah Berdiri PPMI Assalaam Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam merupakan karya besar yang lahir dari kegiatan pengajian keluarga. Bermula dari kecintaan H. Abdullah Marzuki dan istri, Hj. Siti Aminah, terhadap kegiatan pengajian keislaman Bapak H. Abdullah Marzuki di sela-sela kesibukan mengelola bisnis penerbitan Tiga Serangkai (TS), beliau mengajak semua keluarga, termasuk keluarga pegawai TS, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian demi meningkatkan kualitas Ilmu, iman, Islam, dan amal saleh. Di lihat dari latar belakang keluarga, sejak awal keluarga H. Abdullah Marzuki memiliki komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sebelum terjun ke dunia penerbitan dan percetakan, beliau dan istri sudah menjalankan profesi sebagai guru ( mu’allim ). Jiwa mendidik ini menggelora dan mendarah daging dalam urat nadi keluarga beliau sehingga di mana pun beliau berada selalu peduli terhadap pendidikan. Kepedulian beliau terhadap pendidika...

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof

Dualisme-Cartesian; Dalam Perdebatan Para Filosof [i] Oleh: Ngabdulloh Akrom Abstraksi Keterpilahan antara kesadaran [mind] dan materi [matter]—dualisme cartesian—dianggap ikut bertanggung jawab terhadap munculnya pelbagai krisis global, seperti krisis ekologi, kekerasan, konflik yang makin mengental, reifikasi, alienasi, dan dehumanisasi. Fenomena ini juga tidak dapat lagi dugunakan untuk memahami fenomena-fenomena fisis, biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang saling terkait satu sama lain. [ii] Sekilas melihat, begitu mengerikan dampak dari dualisme-cartesian. Karena pernyataan di ataslah penulis ingin mengkaji lebih terperinci mengenai dualisme-cartesian. Dalam makalah ini, penulis mencoba melihat secara kritis apa itu dualisme-cartesian, dan membandingkan pemikiran antara Descartes, Hobbes, Locke dan Leibniz mengenai dualisme-cartesian. Untuk sistematika penulisannya, penulis melihat bagaimana pemikiran Descartes mengenai hubungan antara ji...

8 Tips Menulis Novel Fiksi ala Paulo Coelho

Bagi Anda para pecinta fiksi mistik, sufistik atau filosofis, tentu tak asing dengan nama penulis berdarah Amerika Latin, Paulo Coelho. Dari tangannya, terlahir karya masyhur seperti; The Alchemist, The Zahir, The Witch of Portobello, Eleven Minutes, The Winner Stands Alone dan sebagainya. Karya-karyanya telah terjual lebih dari 100 juta kopi, diterjemahkan dalam 67 bahasa di 150 negara di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Dalam web blog pribadinya, Coelho berbagi tips cara menulis buku atau novel sebagaimana pengalamannya selama ini kepada para penggemarnya. Berikut adalah beberapa cara yang perlu harus lakukan: Pertama, Keyakinan. Anda tidak bisa menjual buku yang diterbitkan berikutnya jika kita memandang rendah buku yang baru saja Anda terbitkan. Jadi, berbanggalah dengan apa yang Anda miliki. Ke dua, Percaya. Percayalah kepada pembaca, jangan menjelaskan sesuatu terlalu detail. Cukup beri petunjuk dan, biarkan para pembaca memenuhi petunjuk tersebut de...