Komaruddin Hidayat, 250 Wisdoms; Membuka Mata, Mengungkap Makna. (Jakarta: Hikmah, Cetak Pertama, Februari 2010) ix + 334 hlm, tebal:13 x 20, 5 cm
***
“Adalah wilayah ilmu untuk berbicara, sedangkan hak kearifan adalah mendengarkan,” demikian kata Oliver Wendell Holmes (1809 – 1894). Pada zaman sekarang ini, tidaklah sulit jika kita ingin menemukan orang memiliki ilmu pengetahuan, akan tetapi sulit untuk menemukan orang bijak, orang yang mampu bertindak sesuai dengan etika masyarakat. Orang yang mau mendengar suara di sekitarnya, sehingga terwujudlah keharmonisasian. Pada umumnya, kita terlalu tergesa-gesa memberi jawaban terhadap masalah yang kita hadapi tanpa memahami terlebih dahulu hakikatnya. Maka berlakulah ungkapan, “penyesalan datang kemudian hari.”
Manusia bertindak sekehendak hatinya untuk mendapatkan cita-cita, kebahagiaan; kebahagiaan yang diukur materi. Ukuran berdasarkan ruang dan waktu. Umumnya materi diidentikkan dengan kekayaan dan kedudukan. Demi mendapatkan kebahagiaan, manusia saling sikut, saling tendang di belakang. Bahkan selalu curiga terhadap orang di sekitar. Apakah mungkin berbahagia, meski selalu dihantui rasa was-was? Seperti disampaikan buku ini, bahwa apa yang kita anggap milik kita—harta, jabatan, sanak-famili—, sejatinya adalah titipan dari yang Maha Kuasa. Jika yang punya berkehendak mengambil kembali, maka dengan berbagai cara pula titipan itu akan diambil-Nya.
Dengan dalih bahwa manusia adalah makhluk tertinggi, manusia merasa berhak untuk memperlakukan alam sekehendak hati. Disposisi pemahaman hubungan manusia dengan alam berdampak pada krisis global berkepanjangan. Sejatinya, hubungan manusia dengan alam ibarat sebuah persahabatan. Manusia merupakan bagian dari alam dan sebaliknya, sehingga yang terjadi adalah hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme).
Buku ini merupakan rangkain ungkapan bijak yang lahir dari sebuah reaksi seorang Komaruddin Hidayat terhadap alam sekitarnya. Ungkapan-ungkapan bijak itu dilengkapi dengan tafsir-tafsir singkat oleh penyunting, sehingga pembaca tidak kesulitan dalam memahaminya. Hal itu setali tiga wang dengan tradisi Islam klasik, seperti yang dilakukan Qaysari terhadap karya gurunya, Ibn ‘Arabi. Walau demikian, pada bagian pengantar, Komaruddin menegaskan bahwa pembaca berhak untuk melakukan tafsir sendiri terhadap ungkapan-ungkapan bijaknya.
***
Melalui serangkaian reaksi akan kejadian sekitar, baik itu kesan, suasana hati, emosi dan pikiran tentang peristiwa sosial, lingkungan alam, persahabatan, kehidupan keluarga, atau masalah negara, Komaruddin mencoba mengksplorasi makna di balik rangkaian peristiwa itu. Hasilnya, rektor Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah ini, menghasilkan ungkapan-ungkapan bijak yang sarat akan makna.Mulanya ungkapan-ungkapan tersebut disampaikan kepada teman dan koleganya melalui pesan singkat atau obrolan santai. Setelah mengalami proses panjang, ungkapan-ungkapan itu terhimpun menjadi sebuah buku 250 Wisdoms; Membuka Mata, Mengungkap Makna. Di sana, penulis mengajak kita untuk melihat kehidupan keseharian melalui sudut pandang berbeda. Ia mengajak memahami dimensi transendental dalam hidup. Selain itu, menunjukkan kejanggalan yang terjadi dalam pola hidup manusia modern.
Buku yang merupakan kumpulan pesan singkat cendekiawan muda ini, menjelaskan filosofi hidup mengenai yang tunggal adalah plural dan yang plural adalah tunggal. Melalui filosofi itu, Komaruddin menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan agar kita bisa menggapai hakikat kebahagiaan.
***
Penyunting cukup jeli dalam mengkategorisasikan ungkapan-ungkapan bijak itu menjadi 12 tema besar yang berkait erat dengan kehidupan sekitar. Kita tidak harus memutar otak untuk mencari titik keterhubungannya. Tema-tema itu meliputi; alam, bisnis, keluarga, persahabatan, diri, pluralitas, berbangsa, Tuhan, dan hal lain yang ada di sekitar kita. Setiap tema memiliki berbagai ungkapan bijak yang di bawahnya ada tafsir Abdullah Wong. Meskipun buku itu terbagi dalam beragam tema, semuanya masih dalam satu nafas yang sama. Mengajarkan bagaimana manusia menjadi pemimpin yang menggunakan hati nurani.
Meski tergolong informatif, buku ini mencerahkan. Pada bagian pengantar, Komaruddin menjelaskan bahwa pembaca berhak memberikan penafsiran tersendiri atas ungkapan-ungkapannya, atau penafsiran atas penafsiran yang ada. Penafsiran yang disajikan mengajak pembaca merenungkan kehidupan keseharian. Dengan begitu, pembaca memperoleh pencerahan. Konon, royalti buku ini akan disumbangkan untuk pendidikan anak-anak yang tertimpa musibah Tsunami di Aceh, maka membeli buku ini, berarti kita turut mendermakan sebagian harta kita.
Terlepas dari itu, buku ini tepat untuk dijadikan bahan renungan bagi siapa saja yang ingin memahami inti kebahagiaan. Dengan bahasa sederhana dan renyah, kita dibawa menuju panorama makna kehidupan yang mendalam. Melalui hal-hal sederhana yang seringkali diabaikan, kita diajak sejenak merenung apa yang sejatinya kita cari dalam hidup ini.
Silahkan kunjungi www.korpusdata.com untuk mengakses tulisan saya lainnya.
Komentar
Posting Komentar