: menuju hati yang damai
Suatu malam di bulan Ramadhan, ketika hendak berkunjung ke rumah kawan dan mengirimkan pesan singkat, kawanku mengabarkan tidak ada di rumah dan akan menghadiri acara buka bersama di rumah seorang budayawan di pinggir kota Jakarta, yang namanya sudah akrab di telingaku. Mungkin juga kawan-kawan juga mengenalnya. Radhar Panca Dahana, namanya. Saya setengah percaya dengan kabar itu, pasalnya waktu sudah menunjukkan menjelang isya’. Sementara waktu, ia masih berada di pusat kota Jakarta, ditengah hiruk-pikuk kepadatan masyarakat kota yang hilir mudik pulang kerja atau sekadar berkumpul untuk ngabuburit. Kawanku menawarkan agar aku ikut bersamanya. “Apa mungkin ada acara buka bersama ba’da isya’?” gumamku.
Agar lebih cepat perjalanannya, aku berinisiatif menunggu di tepi jalan raya. Tepatnya di warteg, depan sebuah universitas Islam Jakarta. Hampir satu jam aku menunggu kedatangannya, namun yang diharap tak kunjung datang. Sambil berbalas pesan singkat, menurut kawanku, “lama hanya ada di dalam pikiran kita.” Aku tidak peduli dengan berapa lama aku harus menunggu. Mungkin karena aku terlalu bergairah untuk bertemu dengan budayawan itu, atau terlampau bersemangat untuk bertemu dengan kawanku itu.
Waktu menunjukkan jam sembilan kurang seperempat malam, kurang lebih satu jam setengah aku menunggu di tepi jalan. Akhirnya, dia datang bersama seorang kawan yang juga akrab denganku. Kami bertiga segera merapat dalam acara buka bersama, mungkin tepatnya kumpulan malam. Roda mobil sepertinya ogah berjalan cepat, atau ia tengah mengamalkan ajaran istikomah dalam menapaki jalan ibu kota yang kian berjubal. Belum nanti, kalau sudah arus mudik. Setiap orang yang pulang kampung, biasanya dan selalu saja membawa kerabat dan handai tawlannya ke ibu kota.
Di antara hiruk-pikuk lalu lintas ibu kota yang tunggang langgang. Baru setengah perjalanan kami tempuh, ban belakang mobil yang kami tunggangi meletus. Padahal, sebelum mobil umum yang kami tunggangi berjalan, ia tengah lama berhenti di pinggir jalan untuk menambah penumpang. Karena saking lamanya ngetime, kawanku gelisah dan berucap, “Sudahlah mas. Jalan saja, nanti juga banyak penumpang.” Sopir itu tidak mengindahkan nasehat kawanku. Dan benar, dalam beberapa ratus putaran roda, mobil itu pun di sesaki para penumpang. DUUAARR!!! Ban belakang sebelah kanan mobil itu meletus. Meski penuh hati para penumpang kecewa, mereka mau memenangkan hati dengan membayar ongkos perjalanan.
Setiba di rumah budayawan, ternyata tengah berkumpul para seniman yang menyambut kami dengan tawa dan tangan terbuka. Ternyata benar, budayawan yang kami datangi mulanya mengadakan acara buka bersama, dan dilanjutkan dengan acara “melek bersama”. Sang budayawan duduk di tengah-tengah, laiknya seorang mursyid dalam sebuah khalaqah. Sang budayawan memenangkan hatinya untuk berbicara dengan orang-orang yang bisa dibilang cupu, bau kencur, atau anak kemarin sore. Tentu saja, acara kumpul bersama ini tidak berbicara mengenai sebuah tema dalam bingkai khusus. Melainkan perbincangan yang diawali dari sebuah letupan, cadaan, atau uneg-uneg setiap hadirin yang datang.
Di antara tema yang cukup menyita minatku adalah perdebatan ihwal hati. Berangkat dari kegelisahan sang budayawan mengenai khazanah sufisme Islam, terutama gagasan al-Ghazali tentang jiwa. Dari sini kemudian bergulir diskusi lintas tradisi dan agama dalam memandang hati.
Dalam KBBI, kata hati merupakan istilah atau terma yang tergolong dalam kategori homonim, yakni sebuah istilah yang memiliki huruf dan pelafalan (ejaan) yang sama. Akan tetapi memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung pada penggunaannya. Ia bisa berarti pusat dari sebuah pepohonan, organ tubuh, atau sesuatu yang tidak terbatas melampaui ukuran-ukuran material.
Kata hati di sini digunakan bukan dalam artian segumpal cairan yang berada di dalam perut sebelah kanan, berfungsi untuk mengambil sari-sari makanan yang dibawa darah, serta menghasilkan empedu.
Di sini, kata hati lebih ditujukan pada sesuatu yang terletak di dalam tubuh manusia, dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat segala pengertian-pengertian atau perasaan-perasaan, misalnya, sedih, bahagia, cinta, marah, gelisah, damai, dll.
Setiap kali kita pamit kepada keluarga, kerabat, atau rekan sejawat, acap kali orang yang kita pamiti berpesan, “hati-hati di jalan” atau dalam bahasa anak sekarang “Titi Di-J ya…”. Secara leksikal pesan tersebut berarti kita harus berhati-hati dalam melangkah agar tidak tersandung, tersungkur, sehingga kita selamat sampai tujuan. Selain itu, ini juga bermakna kita musti menggunakan hati dalam bertindak. Seseorang yang senantiasa menggunakan hati tentu akan melihat lebih jauh dampak dari perbuatan yang ia kerjakan. Ia selalu mempertimbangkan apakah tindakkan yang dilakukan berdampak buruk terhadap orang-orang di sekitar, atau pun terhadap alam. Lho, kok bisa? Jika kita tidak menggunakan hati kita, maka kita akan melakukan tindakan semau kita sendiri. Kita tidak akan peduli kenapa ada sebuah adat, undang-undang, norma—baik tertulis atau tidak—mengatur tindakan-tindakan yang seharusnya kita kerjakan.
Berbicara tentang memenangkan hati, mungkin di antara kawan-kawan ada yang berpikir secara dikotomis yang berhadap-hadapan. Seolah-olah, terdapat peperangan atau konflik di dalam diri kita sehingga ada pihak yang menang dan terdapat pihak yang dikalahkan. Memang begitu adanya.
Mungkin suatu waktu kita pernah memiliki masalah dengan seseorang, teman atau keluarga, padahal kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak salah sama sekali, akan tetapi dengan sikap kesatria kita memenangkan hati untuk terlebih dahulu meminta maaf sebelum mereka meminta maaf kepada kita. Dengan besar hati kita mau mengalah tanpa harus membuat orang yang salah merasa rendah. Ketika seseorang telah memenangkan hatinya, maka tidak ada kegelisahan, kegundahan, atau momok yang selalu menghantui langkahnya. Sehingga hati hadirlah hati yang damai.
Sebagaimana diulas pada malam itu, saya teringat tentang adagium tradisi jawa yang sering Romo ajarkan kepada saya,
Menang tanpo ngasorake, secara literal dapat diartikan dengan “menang tanpa merendahkan.” Artinya ketika telah memperoleh kemenangan, tentu saja dengan cara kesatria, kita tidak perlu melakukan sebuah tindakan yang mempermalukan lawan. Yakni menang dengan berjiwa besar, sehingga si kalah tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus diselimuti nista dan hina dina.
Tentu saja, dalam kita bersikap menghadapi masalah yang ada di hadapan kita, dibutuhkan jiwa kesatria yang senantiasa bersedia memenangkan hati menghadapi masalah yang ada, demi mencapai kedamaian hati. Bukan jiwa yang kerdil, yang ciut, berlari dari masalah dengan hati kalah dan selalu dihantui rasa bersalah.
KelapaDuaWetan, 23 August 2011
Suatu malam di bulan Ramadhan, ketika hendak berkunjung ke rumah kawan dan mengirimkan pesan singkat, kawanku mengabarkan tidak ada di rumah dan akan menghadiri acara buka bersama di rumah seorang budayawan di pinggir kota Jakarta, yang namanya sudah akrab di telingaku. Mungkin juga kawan-kawan juga mengenalnya. Radhar Panca Dahana, namanya. Saya setengah percaya dengan kabar itu, pasalnya waktu sudah menunjukkan menjelang isya’. Sementara waktu, ia masih berada di pusat kota Jakarta, ditengah hiruk-pikuk kepadatan masyarakat kota yang hilir mudik pulang kerja atau sekadar berkumpul untuk ngabuburit. Kawanku menawarkan agar aku ikut bersamanya. “Apa mungkin ada acara buka bersama ba’da isya’?” gumamku.
Agar lebih cepat perjalanannya, aku berinisiatif menunggu di tepi jalan raya. Tepatnya di warteg, depan sebuah universitas Islam Jakarta. Hampir satu jam aku menunggu kedatangannya, namun yang diharap tak kunjung datang. Sambil berbalas pesan singkat, menurut kawanku, “lama hanya ada di dalam pikiran kita.” Aku tidak peduli dengan berapa lama aku harus menunggu. Mungkin karena aku terlalu bergairah untuk bertemu dengan budayawan itu, atau terlampau bersemangat untuk bertemu dengan kawanku itu.
Waktu menunjukkan jam sembilan kurang seperempat malam, kurang lebih satu jam setengah aku menunggu di tepi jalan. Akhirnya, dia datang bersama seorang kawan yang juga akrab denganku. Kami bertiga segera merapat dalam acara buka bersama, mungkin tepatnya kumpulan malam. Roda mobil sepertinya ogah berjalan cepat, atau ia tengah mengamalkan ajaran istikomah dalam menapaki jalan ibu kota yang kian berjubal. Belum nanti, kalau sudah arus mudik. Setiap orang yang pulang kampung, biasanya dan selalu saja membawa kerabat dan handai tawlannya ke ibu kota.
Di antara hiruk-pikuk lalu lintas ibu kota yang tunggang langgang. Baru setengah perjalanan kami tempuh, ban belakang mobil yang kami tunggangi meletus. Padahal, sebelum mobil umum yang kami tunggangi berjalan, ia tengah lama berhenti di pinggir jalan untuk menambah penumpang. Karena saking lamanya ngetime, kawanku gelisah dan berucap, “Sudahlah mas. Jalan saja, nanti juga banyak penumpang.” Sopir itu tidak mengindahkan nasehat kawanku. Dan benar, dalam beberapa ratus putaran roda, mobil itu pun di sesaki para penumpang. DUUAARR!!! Ban belakang sebelah kanan mobil itu meletus. Meski penuh hati para penumpang kecewa, mereka mau memenangkan hati dengan membayar ongkos perjalanan.
Setiba di rumah budayawan, ternyata tengah berkumpul para seniman yang menyambut kami dengan tawa dan tangan terbuka. Ternyata benar, budayawan yang kami datangi mulanya mengadakan acara buka bersama, dan dilanjutkan dengan acara “melek bersama”. Sang budayawan duduk di tengah-tengah, laiknya seorang mursyid dalam sebuah khalaqah. Sang budayawan memenangkan hatinya untuk berbicara dengan orang-orang yang bisa dibilang cupu, bau kencur, atau anak kemarin sore. Tentu saja, acara kumpul bersama ini tidak berbicara mengenai sebuah tema dalam bingkai khusus. Melainkan perbincangan yang diawali dari sebuah letupan, cadaan, atau uneg-uneg setiap hadirin yang datang.
Di antara tema yang cukup menyita minatku adalah perdebatan ihwal hati. Berangkat dari kegelisahan sang budayawan mengenai khazanah sufisme Islam, terutama gagasan al-Ghazali tentang jiwa. Dari sini kemudian bergulir diskusi lintas tradisi dan agama dalam memandang hati.
Dalam KBBI, kata hati merupakan istilah atau terma yang tergolong dalam kategori homonim, yakni sebuah istilah yang memiliki huruf dan pelafalan (ejaan) yang sama. Akan tetapi memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung pada penggunaannya. Ia bisa berarti pusat dari sebuah pepohonan, organ tubuh, atau sesuatu yang tidak terbatas melampaui ukuran-ukuran material.
Kata hati di sini digunakan bukan dalam artian segumpal cairan yang berada di dalam perut sebelah kanan, berfungsi untuk mengambil sari-sari makanan yang dibawa darah, serta menghasilkan empedu.
Di sini, kata hati lebih ditujukan pada sesuatu yang terletak di dalam tubuh manusia, dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat segala pengertian-pengertian atau perasaan-perasaan, misalnya, sedih, bahagia, cinta, marah, gelisah, damai, dll.
Setiap kali kita pamit kepada keluarga, kerabat, atau rekan sejawat, acap kali orang yang kita pamiti berpesan, “hati-hati di jalan” atau dalam bahasa anak sekarang “Titi Di-J ya…”. Secara leksikal pesan tersebut berarti kita harus berhati-hati dalam melangkah agar tidak tersandung, tersungkur, sehingga kita selamat sampai tujuan. Selain itu, ini juga bermakna kita musti menggunakan hati dalam bertindak. Seseorang yang senantiasa menggunakan hati tentu akan melihat lebih jauh dampak dari perbuatan yang ia kerjakan. Ia selalu mempertimbangkan apakah tindakkan yang dilakukan berdampak buruk terhadap orang-orang di sekitar, atau pun terhadap alam. Lho, kok bisa? Jika kita tidak menggunakan hati kita, maka kita akan melakukan tindakan semau kita sendiri. Kita tidak akan peduli kenapa ada sebuah adat, undang-undang, norma—baik tertulis atau tidak—mengatur tindakan-tindakan yang seharusnya kita kerjakan.
Berbicara tentang memenangkan hati, mungkin di antara kawan-kawan ada yang berpikir secara dikotomis yang berhadap-hadapan. Seolah-olah, terdapat peperangan atau konflik di dalam diri kita sehingga ada pihak yang menang dan terdapat pihak yang dikalahkan. Memang begitu adanya.
Mungkin suatu waktu kita pernah memiliki masalah dengan seseorang, teman atau keluarga, padahal kita tahu bahwa sesungguhnya kita tidak salah sama sekali, akan tetapi dengan sikap kesatria kita memenangkan hati untuk terlebih dahulu meminta maaf sebelum mereka meminta maaf kepada kita. Dengan besar hati kita mau mengalah tanpa harus membuat orang yang salah merasa rendah. Ketika seseorang telah memenangkan hatinya, maka tidak ada kegelisahan, kegundahan, atau momok yang selalu menghantui langkahnya. Sehingga hati hadirlah hati yang damai.
Sebagaimana diulas pada malam itu, saya teringat tentang adagium tradisi jawa yang sering Romo ajarkan kepada saya,
“…., nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake.”Nglurug tanpo bolo, secara harfiah berarti mendatangi tanpa kawan. Dalam konteks saat ini, sikap ini dapat diartikan sebagai sikap berani menghadapi lawan atau permasalahan apa pun tanpa mengharapkan bala bantuan orang lain. Semua disandarkan pada kemampuan diri sendiri, perwujudan dari sikap kesatria sejati.
Menang tanpo ngasorake, secara literal dapat diartikan dengan “menang tanpa merendahkan.” Artinya ketika telah memperoleh kemenangan, tentu saja dengan cara kesatria, kita tidak perlu melakukan sebuah tindakan yang mempermalukan lawan. Yakni menang dengan berjiwa besar, sehingga si kalah tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus diselimuti nista dan hina dina.
Tentu saja, dalam kita bersikap menghadapi masalah yang ada di hadapan kita, dibutuhkan jiwa kesatria yang senantiasa bersedia memenangkan hati menghadapi masalah yang ada, demi mencapai kedamaian hati. Bukan jiwa yang kerdil, yang ciut, berlari dari masalah dengan hati kalah dan selalu dihantui rasa bersalah.
KelapaDuaWetan, 23 August 2011
Komentar
Posting Komentar